Bapak-bapak, ibu-ibu dan adik-adik mahasiswaku di mana saja berada. Salam Kemerdekaan!
Sudilah anda kali ini mendengarkan cerita anak kuliah terkait foto, teks, dan matan hadis. Bilamana kita melihat foto ‘bareng’ bersama orang-orang lain, anggaplah semasa kuliah, biasanya mata kita selalu tertuju pada gambar kita sendiri dalam foto tersebut, entah kenapa? Demikian pula bila kita membaca novel, mata dan pikiran kita kita biasanya tertuju kepada kalimat-kalimat yang menarik bagi kita, atau kepada alur ceritanya, atau kepada maksud si pengarang, entah kenapa? Yang lebih jelas lagi tatkala para ulama, kyai dan ustadz membaca hadis, mata dan pikiran mereka biasanya tertuju selain kepada Sanad, kepada Matan, bahkan juga kepada Perawi-perawi hadis, lagi-lagi entah kenapa? So, apa yang salah dengan mata-mata seperti itu? Bukankah cara-cara seperti itu sudah biasa? Bilamana ia salah, lalu bagaimana cara yang benar? Apa konsekwensi jauh di belakang cara-cara melihat foto dan teks semacam itu kepada memahami Hadis?
Untuk menjelaskannya saya akan menggunakan hermeneutika filosofis Gadamer agar pembaca semua, terutama adik-adik kawula muda yang sedang duduk di bangku kuliah, mendapat kejernihan sudut pandang hermeneutik bilamana ia dibandingkan dengan tafsir. Sebagaimana biasa tulisan saya akan berujung kepada usaha intelektual untuk memperbaiki pandangan keilmuan keislaman kita. Saya nanti akan fokus membicarakan hadis-hadis terkait hal mu’amalat (hubungan antar manusia) bukan hadis-hadis di bidang ‘aqidah dan ibadah. Mari kita mulai dengan contoh-contoh keseharian.
Pertama, apa itu foto? Foto adalah hasil tangkapan lensa kamera, kamera yang bekerja menangkap cahaya via lensa, lensa kaca yang mirip bola mata tentang suatu objek di depannya. Dengan kata lain, bila kita ikuti Bertrand Russell, yang kita tangkap hanyalah ‘pantulan’ bayangan objek itu sendiri, tentu saja berkat bantuan sinar. Sementara tulisan (teks) adalah kode-kode huruf, hasil budaya, ciptaan manusia. Sekali lagi di mata Bertrand Russell, kita tidak menangkap teks itu sendiri tetapi ‘pantulan’ dari teks. Teks artinya anyaman. Tekstil artinya kain (anyaman benang-benang). Yang dianyam oleh teks sesungguhnya adalah budaya kita, nilai atau value, kode-kode yang ada dalam masyarakat kita. Jadi foto dan teks itu sebenarnya sama saja keduanya: kamera menangkap cahaya via lensa sehingga diperoleh foto, dan foto menggambarkan situasi masa lampau di saat foto itu diambil atau saat teks itu ditulis. Maka foto dan teks ibarat ‘Pinang Dibelah Dua’ meminjam pepatah Melayu, artinya sama saja, podo wae, sami mawon bila dilihat secara hermeneutis.
Diulangi lagi, yang menjadi persoalan sekarang tatkala melihat foto bersama, bukan acara (peristiwa) dalam foto itu yang menjadi intipan kita tetapi diri kita sendiri atau apa yang menjadi minat kita. Demikian pula tatkala membaca teks, bukan persoalan (subject matter) dalam teks yang menjadi perhatian kita tetapi boleh jadi maksud si pengarang, misalnya apa kata pengarang dalam novel atau apa kata si pengirim surat. Demikian pula tatkala kita membaca hadis, yang menjadi perhatian kita bukan “inti masalah” yang dibicarakan oleh hadis tetapi siapa perawinya, bagaimana sanadnya, apa derajat hadisnya: mutawatir, hasan, dho’if, maqthu’ dan sebagainya. Itulah cara berpikir kita. Cara berpikir yang kita warisi dalam tradisi Islam dimana kita hidup beragama, sadar atau tidak sadar. Buktinya untuk berdalil kita biasanya menyebut nama-nama tokoh yang sudah di’patenkan’ dalam Ilmu Hadis misalnya ‘An Abi Hurairah, ‘An Abi Said al-Khudri, ‘An ‘Asyita Radhiyallu ‘anha. Rowahul Buhkhori, Rowahul Muslim, dan lainnya. Keabsahan dalil disandarkan kepada tokoh. Dalam hermeneutik ini masalah, sebab ia bukan ‘Inti Masalah’.
Kedua, apa masalahnya? Bagi Hans Georg Gadamer, seyogyanya yang diselami di saat membaca teks adalah inti persoalannya (Die Sache). Inti persoalan pada novel Di bawah Lindungan Ka’bah oleh Hamka, misalnya, ialah si Zainuddin (kekasih Hayati) dipandang sebagai anak rantau yang tidak mempunyai suku (marga) sebab ibunya orang Bugis, bukan orang Minang dimana masyarakat menganut matrilineal. Dan inti persoalan pada novel Siti Nurbaya karangan Marah Rusli adalah persoalan hutang dagang, ayah Siti Nurbaya bangkrut, pailit, terlilit utang kepada seorang rentenir tua bernama Dt. Maringgih, sehingga puterinya terpaksa dinikahkan dengan rentenir tersebut. Inti persoalan dalam setiap teks itulah seyogyanya yang didialogkan terus menerus menurut Gadamer. Inti persoalan dalam teks, menurut saya, mirip pusaran air di tengah aliran sungai: ia berputar-putar melingkar. Pusaran air yang melingkar di tengah derasnya arus sungai itulah kiasan inti masalah yang ada dalam setiap teks. Mata kita harus tetap fokus tertuju ke sana, bukan kepada luasnya hamparan air sungai tetapi khusus ‘melotot’ ke arah ‘air yang berputar melingkar kecil’ di tengah sungai. Demikian pula kiasannya tatkala membaca hadis dalam bidang mu’amalat. Ingat, yang dimaksud teks di sini ialah teks yang berasal dari kejadian di lapangan, dari peristiwa mu’amalat, yang memiliki lokus, bukan teks yang membicarakan ‘aqidah dan ibadah yang kita yakini tertulis di Lauhul Mahfuz.
Sekali lagi, ambillah foto bersama teman- teman misalnya. Ia adalah foto yang menceritakan kegiatan bersama, mengisahkan masa lalu bersama, masa-masa indah di sekolah bersama, bukan hanya menceritakan diri kita sendiri yang ada dalam foto tersebut. Artinya dalam foto tersebut ada peristiwa, ada ‘Dunia Masa Lampau’ yang disebut oleh Michel Foucault sebagai Prefigurasi atau Sitz im Leben dalam bahasa Jerman. Di saat kita hanya melihat foto diri kita sendiri dalam keseluruhan orang-orang yang ada dalam foto tersebut, maka cerita yang ingin disampaikan oleh foto tersebut menjadi tidak utuh tentang masa lampau. Saya teringat foto anak-anak muda di tahun 1970-an di Yogyakarta, misalnya foto mahasiswa- mahasiswa UGM, UII, IAIN, di saat saya masih di SLA (PHIN Yogyakarta), mereka memakai celana panjang lebar ke bawah yang dinamai dengan celana gunting spanyol, rambut gondrong, kemeja lengan panjang ketat seluruh badan tetapi lengan bajunya digulung hingga siku, kancing baju dibiarkan terbuka di dada. Kenapa mereka bergaya demikian? Sebab pada masa itu, antara lain, band music Koes Plus lagi ‘ngorbit’ dan para penyanyinya (Yok Koeswoyo, Muri, dll) mengenakan celana model seperti itu dan anak-anak muda di zaman itu ingin menirunya, yang membuat tukang jahit kerepotan mengikuti pesanannya. Foto bersama dalam gaya pakaian sedemikian itu mengandung ‘pesan’ bila kita mau mendengarnya hari ini lewat riwayat foto tersebut. Ada pesan pertemanan, pesan ekonomi, pesan style/mode busana, pesan politik zaman Pak Harto, pesan dunia pendidikan, pergaulan muda mudi di kota Gudeg, dan lainnya.
Itu contoh foto yang berisi cakrawala zaman yang berbeda dengan zaman kita. Cakrawala adalah batas pandangan, di situ ada garis horizon, garis batas. Foto dan teks juga mempunyai Sitz im Leben (tempat dalam kehidupan/dunia tempat teks lahir). Bila kita dengar sisi pesannya dengan lapang dada, maka kita bisa bercermin darinya, dapat mengambil i’tibar, agar cakrawala kita dan cakrawala mereka yang ada dalam foto semakin bersepakat pada ‘understanding’ (Verstehen). Verstehen adalah memahami orang lain dengan cara berempati, dengan memberinya kesempatan untuk bercerita dengan segala kelainannya, agar kita dapat mengasah diri kita menjadi lebih baik, lebih meningkat, lebih memiliki cara pandang yang luas, bukan untuk meniru dia tetapi untuk mencari pemahaman baru yang lebih segar untuk kita dan dia. Verstehen tidak diperoleh dengan sekedar membaca potongan teks lalu ditafsirkan, tidak begitu. Itu cara klasik. Cara klasik itu bukan keliru tetapi belum lengkap (meniru kata-kata Prof. Dr. H. M. Rasyidi dalam bukunya Filsafat Agama).
Yang ingin saya katakan terkait foto di atas ialah bahwa cara pandang kita dan cara berpikir orang-orang yang dalam foto sama-sama dipengaruhi oleh zaman, masa, tempat kita kini dan mereka dulu hidup. Ini membentuk apa yang dinamai oleh Gadamer dengan Cakrawala (Horizon). Cakrawala semacam itu akhirnya terukir dalam foto, terekam dalam tulisan dalam karya seni, dalam novel Hamka dan Marah Rusli, dan lainnya. Maka cakrawala Nabi dan cakrawala zaman Nabi juga terukir dalam hadis-hadis. Cakrawala apa? Hadis-hadis mengukir cakrawala (batas pandang) di bidang mu’amalat misalnya, cakrawala tentang perang, cakrawala jual beli, utang piutang, cakrawala sistem pembagian zakat fitrah, cakrawala tentang pengharaman riba, status peranan wanita, masalah kebolehan berpoligami dan lainnya. Bagi Fazlur Rahman, misalnya, ratio legis kebolehan berpoligami di masa Nabi adalah karena kaum pria Muslim dianjurkan Nabi untuk menikahi banyaknya janda-janda akibat perang dan juga untuk memelihara anak-anak yatim. Ini salah satu contoh cakrawala Nabi dan cakrawala zaman itu, maka kita bukan sekedar mencontoh keputusan Nabi yang terekam dalam matan hadis tetapi mengembangkan wawasan dari mana Nabi membuat dasar-dasar pertimbangan sosial, rational, empiric yang berbasis akhlakul karimah. Kita tidak mencontoh hasil keputusan Nabi in toto, tetapi mencontoh dasar-dasar pertimbangan oleh Nabi sesuai dengan cakrawalanya dan cakrawala zamannya. Yang dilirik ialah sejauhmana dasar-dasar pertimbangan Nabi itu bernilai juga bagi kita untuk hari ini dengan cara meleburkan dua cakrawala. Ini disebut Gadamer dengan Fusion of Horizons (Horizons Vermeltzung).
Masalahnya tatkala kita mengutip suatu hadis dalam ceramah, dalam khutbah atau lainnya, biasanya kita tidak menghiraukan cakrawala semacam itu tetapi lebih melihat kepada sanad, matan dan perawi hadis. Cara seperti ini bila diikuti cara berpikir Gadamer adalah suatu cara yang kurang tepat. Ibarat melihat foto, kita hanya melihat diri kita sendiri atau melihat apa yang kita minati. Padahal sebuah foto secara keseluruhan ‘membisikkan’ cerita masa lampau. Bahkan cerita dalam foto itu tidak lengkap, maka diperlukan dialog antara kita dengan foto tersebut. Cerita dalam novel Hamka dan Marah Rusli itu tidak lengkap menceritakan kebenaran cakrawala zamannya, kita juga perlu lebih berdialog dengan teksnya.
Maka cerita dalam hadis juga kiranya belum lengkap, sehingga kita perlu berdialog lagi dengan matan-matannya sebab Nabi sudah tiada untuk tempat kita bertanya face to face. Kata Gadamer, kebenaran yang telah tertulis lebih sedikit jumlahnya dibandingkan kebenaran yang belum tertulis. Kebenaran yang berhasil dijepret oleh kamera dalam foto lebih sedikit jumlahnya daripada kebenaran yang belum tertangkap oleh kamera. Maka kebenaran dalam matan hadis lebih sedikit jumlahnya daripada kebenaran yang tidak terangkum dalam matan hadis. Anda boleh tidak setuju dengan “cerita anak kuliah” ini. Bila anda tak setuju dengan pikiran Gadamer tentu alasan anda mungkin akan mengatakan bahwa Nabi tidak bebas bercakrawala seperti kita manusia biasa, semua tindakannya sudah diatur oleh Allah seperti wayang yang digerakkan oleh tangan Dalang, sebab beliau itu Rasul Allah. Rasul itu sempurna. Di sini hermeneutika Gadamer berbeda jalan dengan cara pandang kita umumnya kaum Muslimin. Cara berpikir normatif seperti di atas jelas tidak bisa diperdebatkan, tidak bisa didialogkan, cara berpikir seperti itu tidak terbuka tetapi tertutup, tidak ‘open to criticism’ tetapi ‘truth claim’ (pembenaran sepihak). Ini mungkin salah satu sebab mengapa orang tidak suka hermeneutik. Tidak suka sebab hermeneutika menyalahi tradisi epistemologi klasik yang kita warisi.
Mari kita lanjutkan lebih dalam. Terlepas dari itu matan hadis, bila dilihat dari perspektif Gadamer, adalah benar merupakan rekaman atas horizon Nabi pada masa hidupnya. Masalahnya sekarang bagi kita, bukan horizon Nabi yang ingin kita gali, tetapi potongan-potongan hadis kita pilih untuk dijadikan hujjah bila perawinya dikatakan tsiqqah, dikatakan bermoral sesuai dengan nasehat ulama-ulama klasik yang kita kagumi. Ibarat melihat sebuah foto, kita cenderung menilai baik akhlak mulia seseorang di dalam foto tersebut berdasarkan ‘nasehat’ siapa yang mencetak foto itu dulu. Hadis itu tidak ditulis di masa Nabi hidup. Ia ditulis jauh setelah Nabi wafat berdasarkan periwayatan orang-orang yang memiliki pengalaman bersama Nabi dulu. Sikap kita ‘taken for granted’ (menganggap benar saja) untuk mengatakan akhlak moral seseorang dalam Hadis baik atau tidak. Bila yang mencetak foto tersebut Imam Bukhari dan Imam Muslim, “ok” diterima, tetapi bila mereka nilai sosok yang dalam foto tersebut cacat moral, ya kita setuju pula dengan ‘nasehat’ Imam Bukhari dan Muslim, walaupun kita tak tahu dan tak pernah jumpa dengan orang-orang yang dinilainya.
Nasehat Gadamer seakan mengatakan kepada kita bahwa bukan tokoh dalam hadis itu yang penting, bukan pula penilaian atas akhlaknya, dan bukan pula siapa yang membukukan hadis tersebut, tetapi apa ‘cakarawala horizon’ Nabi yang diceritakan orang dalam hadis-hadis tersebut dan apa cakrawala zaman di masa itu. Di dalam hadis banyak dijumpai cakrawala zaman dan pertimbangan- pertimbangan Nabi dalam menghadapi persoalan riba, menghadapi perang, menyelesaikan perselisihan Qabilah, mencontohkan cara pembagian warisan, cara pembagian harta zakat, waqaf, infak dan shodaqoh, cakrawala waktu Mu’az bin Jabal diutus ke Yaman dan lainnya. Cakrawala Nabi semacam itulah yang kita ‘sambungkan’ dengan cakrawala kita hari ini, dengan semangat keberagamaan kita yang tulus, berdasarkan rasa ingin satu pengalaman dengan Nabi, serasa ingin sepenanggungan dengan Nabi, serasa hidup ‘beneran’ di sisi Nabi, seolah-olah kita sarungkan kaki kita pada sepatu Nabi agar terasa enaknya sebagaimana Nabi pernah memakainya. Itulah cara kerja hermeneutik, itulah cara memahami hadis yang berbeda dengan tradisi Sunni, berbeda dengan Ahlul Hadis, berbeda dengan Imam Syafi’i, bahkan berbeda dengan NU dan juga berbeda dengan Muhammadiyah.
Di sini saya tidak mempertajam perbedaan tetapi sekedar menunjukkan bahwa ada yang perlu ditinjau ulang dalam cara-cara kita membaca hadis. Tujuan saya agar cakrawala kita dan cakrawala Nabi dan cakrawala zamannya bisa berdialog, cakrawala yang saling bertanya, saling menjawab, saling terbuka, saling ingin mengerti perbedaan cakrawala zaman keduanya. Maka untuk ke depannya akan lebih bijak bila kita sudi bertanya: apa yang jadi masalah dalam suatu hadis? Bagaimana cara Nabi dan zamannya menyelesaikannya? Kenapa demikian pertimbangannya? Ada apa pesan moral di balik arahan Nabi? Sejauhmana cakrawala dalam hadis tersebut akan bermanfaat bagi kita kini? Dengan cara-cara seperti itu, maka hadis diperlakukan sebagai ‘Yang Lain’ (the other) yang membiarkan hadis itu menyingkapkan kebenaran cakrawala zamannya. Ini akhirnya akan menghasilkan suatu pemahaman baru yang produktif, inilah yang dinamai oleh Prof. Amin Abdullah dengan qira’ah al-muntijah. Yang terjadi sekarang bukan qira’ah al-muntijah tetapi qira’ah yang terarah, terarah oleh tradisi klasik, oleh epistemologi klasik. Anak-anak dan mahasiswa-mahasiswa, kita bekali mereka ilmu seperti itu dan kita beri nilai bagus bila mereka ‘manut’ dengan epistemologi semacam itu. Kita adalah agen-agen yang melestarikan tradisi epistemologi klasik, dan negara membayar kita untuk itu dalam bentuk gaji guru sekolah, gaji guru pesantren, gaji dosen dan bahkan sebagai gaji guru besar. Di situ persoalannya. Memang begitulah “Anak Kuliah Punya Cerita”.
Kesimpulan
Cara kita memahami foto dan memahami hadis mirip kerja sains: kebenaran di dalamnya kita tentukan sesuai nalar yang telah ‘nongkrong’ dalam kepala kita. Apa yang dinilai baik, bagus, benilai, patut dicontoh, lalu kita pilih dan kita ajak orang lain agar setuju pula, ini namanya meniru cara kerja sains di laboratorium. Kebenaran yang diobjektivasi, ditundukkan, sesuai dengan pertimbangan kita sebagai subjek sebagai fa’il. Sementara bagi Gadamer, kebenaran di dalam foto dan hadis seyogyanya jangan ditundukkan, jangan dipilih menurut kemauan kita, jangan diobjektivasi (maf’ulun bih), tetapi coba’ didengarkan’ apa kata foto dan apa kata hadis. Kita perlakukan matan hadis bukan lagi sebagai maf’ul (pelengkap penderita) tetapi sebagai fa’il (pelaku utama/mitra dialog). Untuk dapat memberlakukan hadis sebagai fa’il maka beralihlah dari menafsir ke hermeneutika.
Significance of Issue (Hikmah)
Ada hikmah di samping telah adanya KHGT (Kalender Hijrah Global Tunggal). Sesuai dengan adagium Gadamer ‘Being that can be understood is language’, bagi saya di sini being adalah cakrawala, sementara language adalah matan hadis. Maka bagi saya artinya: Cakrawala Nabi yang bisa dipahami hanyalah matan hadis. NU memahami matan hadis Nabi terkait hilal: ‘Shumu li ru’yatihi’ (Berpuasalah kamu karena melihat bulan), dilihatnya fisik bulan dengan ‘ru’yah’ mata kepala, ramai-ramai di suatu tempat dengan dibantu oleh teropong/teleskop (kata mereka itu benar padahal ia sahih). Muhammadiyah memahaminya dengan hisab dibantu pula dengan teknologi modern (kata mereka itu sudah benar tetapi rupanya sahih), namun “Anak Kuliah masih Bercerita”: mereka keduanya belum tahu ada cakrawala Nabi (yang benar) dalam hal penentuan hilal. KHGT itu matematis. Matematik tidak mencari ‘kebenaran’ tetapi mencari ‘validitas/mencari kesahihan/keabsahan’ kata salah seorang dosen matematik ITB kepada Prof. Bambang Sugiharto. Bahwa sudut segi tiga dikatakan 90 derjat, itu adalah sahih, bukan benar. Buktinya coba saja ukur sudut segi tiga pada globe yang melengkung: tidak benar tetapi sahih. Jadi sahih itu nampaknya hasil kesepakatan sekelompok orang dalam bayangan kebenaran. Sementara benar itu sui generis to be inherent dalam alam. Muhammadiyah dan NU itu satu suara dalam kebenaran, dua suara dalam kesahihan, itu menurut saya sebagai “Anak Kuliah yang Bercerita”.
Sekian dulu bapak-bapak, ibu-ibu dan adik-adik yang telah sudi membaca tulisan dan pikiran saya, jangan marah ya. Mudah-mudahan Allah memberi kita jalan yang lurus. Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah.
Tinggalkan Balasan