Assalamu’alaikum wr.wb
Yth bapak-bapak, ibu-ibu, adik adik kawula muda dan segenap mahasiswa saya di mana saja berada. Banyak orang-orang kaya dan pejabat punya koleksi buku-buku dan punya hoby membaca termasuk Presiden Prabowo sempat mengunjungi toko buku di India dimana dia dulu sering mencari-cari buku. Jum’at ini, menyambut hari Kemerdekaan RI, kita membicarakan tentang buku di pedesaan, gagasan dan himbauan: tulisan dua arah, memberi gagasan kepada calon pengelola buku-buku dan menghimbau kepada calon donatur buku-buku. Ide untuk mengajak masyarakat pedesaan untuk membaca buku tentu bukan ide baru dan perpustakaan keliling dengan kendaraan khusus milik Pemda setempat sudah lama tersedia, tetapi nampaknya belum efektif apalagi di era digital ini. Terkait hal itu, banyak para guru besar, dosen-dosen yang sudah pensiun, pejabat, mahasiswa dan kolektor-kolektor yang punya buku-buku yang tak terbaca lagi di rumahnya. Alm. Munawir Syadzali (Mantan Menteri Agama) pernah mengatakan pada saya bahwa di rumahnya (Klaten, Jawa Tengah) banyak koleksi buku-buku keislaman diantaranya ada yang pernah dibelinya dari luar negeri tetapi anak-anaknya, katanya, kurang berminat untuk membacanya. Selain ahli waris alm. Rifyal Ka’bah tentu banyak pula para pemilik buku-buku yang telah mendirikan yayasan pribadi dimana di dalamnya banyak koleksi buku-buku bagus dan bermutu. Barangkali banyak di antara anda dan kolektor buku-buku juga bernasib sama dengan pak Munawir, maka sekarang timbullah ide saya untuk membantu mendistribusikannya ke daerah-daerah pedalaman sendainya ada diantara pembaca ini yang juga tidak punya penerus yang berminat untuk membaca buku-buku koleksinya sehingga tersentuh hatinya untuk berbagi buku-buku dan jurnal. Ditunggu.
Era informasi digital sekarang di Tik Tok, WA, YouTube, Instagram dalam beberapa hal juga ikut membantu mencerdaskan bangsa tetapi si pemilik gadget kadang-kadang tidak fokus kepada ilmu pengetahuan yang akan mencerdaskan dirinya, biasanya lebih suka kepada entertainment (hiburan). Keberadaan sebuah perpustakaan provinsi dan sebuah perpustakaan milik Kota Madya boleh jadi sangat jauh dari jangkauan pembaca pedesaan, dan dalam kehidupan modern yang serba materialistik, hasrat membaca buku-buku, ide-ide besar ke perpustakaan telah semakin berkurang. Maka judul tulisan hari ini ‘Buku di Pedesaan’ akan membicarakan apa pentingnya buku-buku di pedesaan, tema buku apa yang perlu diprioritaskan, bagaimana cara mendistribusikannya, apa yang seyogyanya diarahkan kepada para pembaca buku dan apa hikmah yang bisa diambil untuk dijadikan pemikiran ke depan. Karena tulisan ini hanya berisi ide gagasan pribadi penulis, maka pendekatannya sangat empirik dan kontekstual. Mari kita mulai!
Minggu lampau, dua orang anak muda (Ibrahim dan Herman), salah seorang eks mahasiswa saya di Fakultas Syariah UIN Jambi datang ke rumah saya meminta beberapa buku yang sekiranya dapat dipajang di perpustakaan kecil di desanya (Tantan, Kab. Batanghari, Jambi). Tantan itu sebuah desa kecil yang terletak di pinggir aliran sungai Batanghari, di mana penduduknya hidup dengan pertanian dan perikanan. Secara sosiologis penduduknya masih kuat memegang tradisi adat Jambi dan umumnya warga NU. Sang mahasiswa ternyata punya inisiatif untuk mengumpulkan buku-buku dan saya ikut menyumbang beberapa buku dan berjanji akan terus menambah koleksinya di masa mendatang. Kendalanya, buku-buku saya banyak berbahasa Inggris, Perancis dan Arab yang saya beli di Canada dan Mesir, tentu nanti akan sedikit pembacanya di desa tersebut. Buku-buku dalam bahasa Indonesia diperlukan.
Secara makro, beberapa negara maju seperti Skandinavia dan Jepang sangat menyuburkan dunia membaca buku, dunia perpustakaan, dunia baca ilmu pengetahuan agar warganya semakin cerdas dan kehidupan sosial semakin bagus. Biasa terlihat orang-orang membaca buku, tua- muda, di halte, di stasiun, di atas bis kota, di atas kereta api ketika hendak mau pergi bekerja bahkan juga yang duduk di taman-taman. Membaca sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka, ‘tiada hari tanpa membaca’. Sementara di pedesaan di negara kita, buku dan jurnal yang mau dibaca itu selain mahal untuk dibeli dan juga sulit untuk didapat dari orang-orang kaya pemilik buku-buku seperti anda. Sekali lagi saya berniat menolong mendistribusikannya ke daerah-daerah bila anda berniat mendonasikannya. Lagi-lagi ditunggu.
Bilamana anda bertanya, ‘siapa calon pembaca buku-buku ilmu pengetahuan di pedesaan? Saya jawab:’sekarang sudah banyak orang-orang di pedesaan yang lulusan perguruan tinggi, melek huruf Indonesia, Arab, Inggris, penuh minat baca: selain para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat, diantaranya juga ada para alumni berbagai perguruan tinggi dan tamatan pesantren mayoritas dari Jawa dan mahasiswa tamatan dari luar negeri terutama dari Timur Tengah, eks TKW (Tenaga Kerja Wanita) di luar negeri dan mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata). Bahkan ada juga para tenaga honorer, dokter-dokter magang, insinyur pertanian dan para PNS yang mendapat tugas di daerah-daerag terpencil dan anggota berbagai perkumpulan sosial dan karang teruna. Itu semua contoh-contoh calon pembaca di pedesaan sejauh yang saya ketahui (jika mereka punya hoby membaca), mungkin anda lebih banyak tahu dari saya.
Lalu siapa yang akan mengelolanya di pedesaan? Maka dalam kesempatan ini saya juga menghimbau kepada adik-adik mahasiswa dan kawula muda di pedesaan agar mau mengelola koleksi buku-buku dari berbagai donatur nantinya. Saya akan menjadi ‘lidah penyambung’, adik-adik yang muda-muda, silahkan buat perpustakaan kecil di desa anda masing-masing dan nanti saya akan menghubungi anda bila sudah ada kiriman buku-buku. Mudah-mudahan bapak-bapak, ibu-ibu yang sedang membaca tulisan saya ini tergerak hatinya untuk mengirimkan buku-buku yang tak terbaca lagi. Sebagaimana diketahui telah banyak anak-anak muda tamatan perguruan tinggi yang tahu nilai sebuah buku dalam kelompok disiplin ilmu yang terkait dengan judul-judul buku. Saya yakin akan banyak tenaga muda yang akan mampu mengelolanya. Yang menjadi persoalan ialah koleksi buku-buku tersebuat akan didapat dari siapa, dimana alamat donaturnya, bagaimana cara memintanya, dan bila mau dibeli tak ada dana. Saya rasa itulah persoalan utamanya di pedesaan.
Bagaimana cara bijak penitipannya? Kita tentu ingat Hadis Nabi: Apabila meninggal manusia, maka hanya ada tiga amal yang selalu lestari: ‘shadaqah jariyah semasa hidup, anak yang soleh yang mendoakan ibu bapaknya dan ilmu yang bermanfaat yang pernah diajarkan semasa hidupnya’. Mewariskan buku-buku saya rasa termasuk kategori yang pertama (shodaqoh jariyah). Bila dibaca buku sumbangannya oleh seseorang setelah si pemilik buku meninggal tentu pahalanya akan mengalir kepadanya. Maka sebaiknya setiap buku yang hendak didonasikan ditulis di halaman depan atau dekat judul buku untaian kalimat singkat yang berbunyi ‘Mohon dibacakan al-Fatihah bagi si pemilik buku ini’. Kalimat semacam itu boleh ditulis tangan sendiri atau dibuatkan stemple khusus yang bertuliskan kalimat semacam itu agar tidak repot menulisnya. Selama buku anda dibaca orang, mudah-mudahan pahalanya akan tetap mengalir ke alam barzah. Amiin.
Apa pentingnya buku di pedesaan? Pertama, buku itu jelas mencerdaskan bangsa. Membaca buku, kata para ahli, dapat memperluas wawasan ilmu pengetahuan kita. Membaca buku membuat saraf-saraf otak kita bekerja. Ujung-ujung saraf yang jumlahnya milyaran itu, kata Prof. Bambang Sugiharto (UNPAR Bandung) mirip ujung-ujung kabel listrik yang gemercik menyemburkan api listrik karena terjadinya proses berpikir. Kedua, bila terjadi proses berpikir, maka tugas adik-adik yang mengelola perpustakaan di pedesaan ialah mungkin mengarahkan mereka kepada cara membaca yang kritis (khusus bagi pembaca berpendidikan SLTA dan S1). Mungkin kita harus menunjuki mereka cara mengajukan pertanyaan sebelum memilih buku: judul buku apa yang akan dicari, siapa pengarangnya, apa pentingnya membaca buku tersebut? Kemudian tatkala mereka membaca diarahkan pula di antara sekian pembahasan dalam Daftar Isi buku, sub-pembahasan apa yang dirasa sangat penting bagi dia. Kemudian kita ajarkan juga apa kesimpulan buku, apa pendapat pengarang, apa alasan atau argumen pengarang, apakah anda sebagai pembaca setuju atau tidak setuju dengan pengarang, bila setuju apa alasannya, dan bila tidak setuju apa pula alasannya? Saya kira dengan panduan semacam itu cukup kontributif bagi pembaca buku di pedesaan untuk menyongsong masa depan Indonesia. Yang harus kita bidik untuk dikikis ialah ‘akar tunggang’ kebiasaan masyarakat kita yang asal ‘nrimo’ setiap kata orang, sikap ABS (Asal Bapak Senang), dan pandangan masyarakat awam bahwa otoritas (ustazd, kyai, buya, tuo tengganai) tak pernah salah, tidak boleh dibantah pendapatnya. Bila ini diubah dengan cara membaca buku yang kritis, ini akan berdampak besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, akan semakin kurang terjadi ‘serangan fajar’ sebelum mencoblos, masyarakat akan semakin berpikir mandiri, orang-orang akan semakin sadar akan nilai suara (coblos), akan menghargai mahalnya waktu, akan semakin sadar bahaya merokok, akan semakin menghargai posisi wanita dan akan semakin menghargai pluralitas dan menghargai perbedaan pendapat antara individu. Maka membaca buku sebaiknya nanti dipandu, dituntun agar efektif. Ini tugas adik-adik pengelola.
Apa yang sebaiknya kita usulkan dalam metode membaca buku? Pertama, jangan takut melihat buku tebal. Pilih topik pembahasan yang diperlukan pada halaman daftar isi. Kedua, buka google, siapa pengarang buku yang akan dibacanya tersebut, apakah dia pengarang terkenal atau amatiran. Apakah pengarang tersebut memang mengarang buku di bidang keahliannya atau sekedar mencari popularitas. Ketiga, apa nama penerbit buku tersebut, dimana kota tempat dicetak atau diterbitkan, tahun berapa dan apa komentar-komentar di belakang kulit buku tersebut. Saya rasa arahan dan panduan praktis semacam itu sebaiknya di tempel di dinding perpustakaan bagi masyarakat pedesaan agar mudah dibaca. Keempat, ketika membaca buku, yang sangat perlu dilirik ialah apa ide pengarang, apa argumentasinya, dalil-dalil apa yang digunakannya, dan mempertanyakan bagaimana cara pengarang mempergunakan dalil-dalil tersebut. Apa sisi lemahnya, dan apa sisi kuatnya. Apa kesimpulan bab tersebut? Apakah anda setuju atau tidak setuju dengan pengarang buku tersebut? Itu sudah cukup tinggi, menurut saya,bagi masyarakat pedesaan! Tak usahlah dulu bicara tentang teori, tentang resensi buku, kebaruan isi buku serta relevansi dan ‘grade’nya dengan berbagai jurnal ilmiah (Scopus) dan prosiding konferensi di berbagai disiplin ilmu pengetahuan akademik dan lainnya yang memang sudah sangat berat.
Apa tema buku-buku yang lebih baik untuk dibagikan di pedesaan? Menurut pengalaman saya begini. Pada waktu saya kuliah di al-Azhar, Mesir, saya telah membeli puluhan kitab-kitab Arab klasik, berjilid-jilid, tersusun rapi di dalam kamar pribadi saya, misalnya kitab al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, kitab al-Majmu’ oleh an-Nawawi, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd, dan lainnya, sehingga kitab-kita klasik itu berderet indah, dan saya kira nanti bila telah pulang ke tanah air, saya akan menjadi kyai besar. Tiba-tiba datang suatu hari berkunjung ke kamar saya alm. abang Rifyal Ka’bah (Mantan Hakim Agung RI yang meninggal di Singapura tahun 2013). Dia bilang: ‘bukan itu kitab-kitab yang seharusnya dibeli Amhar, katanya’. Yang akan dibeli ialah buku-buku kecil hasil tulisan orang yang membahas berbagai isi kitab-kitab klasik tersebut dan apa relevansinya dengan persoalan modern saat ini. Jadi buku yang seharusnya dibeli ialah buku-buku yang bersisi analisa, berisi tentang pembahasan. Itu yang bagus, ‘ katanya. Maka sejak saat itu mulailah kitab-kitab klasik yang mahal-mahal itu hilang dari kamar saya, mungkin saya over alih dengan teman-teman asal dari Madura, Bugis dan Medan. Sejak saat itu saya mulai membeli buku-buku kecil, tetapi saya malah lebih tertarik buku-buku berbahasa Inggris dan bernuansa filosofis seperti buku-buku Bertrand Russell, Thoha Husein, filsafat barat dan kritik sastra, dan lainnya.
Belajar dari saran alm. Rifyal Ka’bah tersebut, maka sebaiknya buku-buku di pedesaan diberikan buku-buku yang mengubah cara pandang konvensional masyarakat agar mereka mampu berpikir ‘out of the box’: seperti buku-buku karangan Dale Carnegie, Norman Vincent Peale, buku-buku sastra Arab, buku-buku karangan tokoh Muslim modern: Mukti Ali, Hamka, Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Syamsul Anwar, Quraish Shihab, buku-buku tokoh intelektual NU dan buku-buku ilmu pengetahuan umum, serta buku-buku pertanian, peternakan, perikanan, Kesehatan, dan teknik informatika.
Untuk bacaan bagi anak-anak pedesaan sebaiknya didistribusikan buku-buku cerita yang membangkitkan semangat gelora dan kerja keras, berpikir merdeka dan berjiwa toleran. Buku-buku cerita yang akan mempu membuat anak-anak ‘bermimpi’ tentang indahnya masa depan hidupnya. Saya tak tahu banyak tentang judul-judul buku untuk anak-anak zaman now, mungkin anda punya saran? Saya tunggu. Prof. Karlina Supelli (Astronom wanita Indonesia pertama) bernostalgia dalam suatu podcast bahwa dia semasa kecil pernah merindukan bintang-bintang di angkasa akibat membaca novel. Rupanya bacaan novel semacam itu membekas setelah dewasa dalam dirinya dan ternyata memang dia akhirnya berhasil menjadi Astronom. Anak-anak, katanya, akan sangat bagus disuguhi bacaan-bacaan novel yang indah-indah yang akan menginspirasi cita-citanya. Terkait hal itu teori Tabularasa John Locke dalam batas tertentu memang ada benarnya. Sejak kecil sudah ada lembaran kosong bagaikan kertas putih yang belum ditulis tetapi kemudian pengalaman kita membentuk dasar bagi pemikiran rasional yang lebih kompleks. Di saat lembaran kosong usia ingusan buku-buku kiriman anda sangat dinantikan oleh anak-anak di pedesaan. Memang pepatah Arab berbunyi “At-ta’allum fis shighar kan naqsyi ‘alal hajar, wat ta’allum fil kibar kan naqsyi ‘alal ma’ (belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu, tetapi belajar setelah dewasa bagaikan mengukir di atas air)”. Serupa dengan pepatah di atas, belajar di waktu kecil, buku yang mau dibaca jarang ada, tetapi belajar setelah dewasa kadang-kadang minat baca yang telah tiada. Anda pada posisi yang mana?
Kesimpulan
Anggaplah tulisan saya Jum’at ini sebagai sebuah gagasan bagi rencana kerja. Keberadaan buku-buku bacaan di pedesaan memang sangat dibutuhkan sebab ia akan membantu program Pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 31 ayat 1 Pembukaan UUD 45). Tetapi cita-cita ke arah ‘mencerdaskan’ tersebut perlu diiringi dengan banyaknya koleksi buku-buku secara kualitas dan kuantitas. Di tengah kondisi ekonomi nasional sekarang ini, koleksi buku-buku para dermawan yang tak terbaca dalam almari, rak-rak buku, dalam kamar, sebaiknya disalurkan ke daerah pedesaan. Sebagai langkah nyata ke arah tersebut saya menyediakan diri sebagai ‘perantara’ antara anda sebagai calon donatur buku-buku dan adik-adik kawula muda yang akan berminat mengelola taman-taman baca di pedesaan. Untuk biaya kurir pengiriman buku-buku anda ke alamat saya di Jambi memang dengan rendah hati kami memohon keiikhlasan anda untuk membayarnya. Bila memang ada, silahkan hubungi saya pada 0812 24 01 1957. Terimakasih. Jazaakumullah.
Significance of Issue (Hikmah)
Di pedesaan boleh jadi fenomena paternalistik masih sangat kental yang terlihat pada saat pencoblosan dan fenomena fanatisme beragama sudah tak diragukan lagi. Di dalam kelas waktu memberi kuliah, saya sangat ‘membidik’ akar tunggang pohon ‘paternalistik dan fanatisme’ semacam itu untuk disuntik, diselipkan unsur-unsur penawar dalam mata kuliah yang diajarkan agar pohon demokrasi semakin subur, mahasiwa diajak berpikir merdeka, mandiri, agar mampu menuju tradisi pemilu ‘one man one vote’ dan pluralitas kehidupan beragama yang toleran. Sejalan dengannya salah satu cara yang bisa dikerjakan sekarang ialah menerima kiriman buku-buku anda yang sudah tak terbaca lagi untuk kami di pedesaan.
Silahkan untuk dipertimbangkan dan dikirimkan. Sekianlah pembaca budiman, terimakasih telah membaca. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang tepat. Wasssalamu’alaikum wr.wb.
Tinggalkan Balasan