Arabia: Tamasya ke Sejarah Kuno (II)

Yang terhormat Bapak-bapak/Ibu-ibu/Adik-adik dan semua mahasiwa saya di mana saja berada, baik Muslim maupun non-Muslim. Jum’at ini saya menepati janji untuk melanjutkan pembahasan tentang isi buku Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din) yang berjudul MUHAMMAD: His Life Based on the Earliest Sources, terj. Qamaruddin SF (Jakarta: Serambi, 2017). Kisah sejarah Nabi Muhammad saat diceritakan oleh guru agama waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) 1964-1970 sangat membekas hingga kini dalam ingatan. Membekas bagaimana guru menceritakan ketika Muhammad kecil dibedah dadanya oleh Malaikat, bagaimana burung Ababil melemparkan batu-batu, kini kisah semacam itu lebih dipercantik oleh seorang ahli dalam buku di atas. Namun karena keterbatasan space di layar HP anda, maka tulisan Jum’at ini hanya saya fokuskan kepada kisah tragis dan kisah romantic Nabi saja. Kisah ini berguna bagi adik-adik kawula muda, dan juga bagi anda yang mengalami ‘kasih tak sampai’, sadarilah bahwa kesedihan hidup, perasaan tragis dan pilu bukan hanya milik anda sendiri. Coba bandingkan dengan pengetahuan kesejarahan Muhammad yang telah anda ketahui selama ini dengan kisah dalam buku Martin Lings tersebut, apa kisah tragis yang dialami Nabi? Dan apa pula kisah romantisnya? Yang jauh lebih penting ialah apa hikmah di balik kisah-kisah tersebut? Mari kita lihat!

Pertama, salah satu kisah tragisnya boleh jadi tatkala ibunya wafat. Sebelum wafat, dikatakan bahwa suatu kali ibunya Aminah mengajaknya membawa berkunjung ke Medinah, dan anda tahu bahwa jarak antara Mekkah dan Medinah sekarang sekitar 434km. Muhammad kecil pada kunjungan tersebut juga pernah diajak bermain layang-layang dan berenang di rumah saudaranya suku Khazraj di Yastrib (p. 37). Kita ingat bahwa suku Aus dan Khazraj bukankah keturunan Yahudi? Suku Khazraj yang mana ini yang dimaksud oleh Marting Lings?

Sejarah juga mencatat bahwa Abdullah, ayah Nabi, meninggal sebelumnya karena sakit di Madinah. Sementara ibunya, Aminah, juga kemudian meninggal dan dikuburkan di Abwa’ selatan Medinah (p. 37). Ibunya ke Medinah ditemani budak perempuannya bernama Barakah dan Barakah pula, setelah wafatnya Aminah, yang membawa Muhammad kecil yatim piatu umur 6 tahun pulang kembali ke Mekah (p. 37). Ibarat pembantu rumah tangga di zaman sekarang, Barakah adalah pembantu yang membimbing dan memegang tangan Muhammad (usia 6 th) untuk pulang kembali ke Mekkah di tengah kesedihan. Coba bayangkan bagaimana sedihnya hati Muhammad kecil yatim piatu kembali pulang ke Mekkah berlinang air mata, menangis terisak-isak, meninggalkan ibu tersayangnya yang telah wafat. Menangis sambil duduk di atas kuda menoleh ke belakang ke kuburan ibunya. Pergi bertiga dengan Ibu, pulang berdua dengan pembantu. Ayah tiada ibu tiada, bahkan saudara kandung juga tiada. Bagaimana jika nasib sedih itu menimpa anak kita? Anak hanya dititipkan dengan pembantu? Yaa Allah berlinang air mataku.

Kedua, setelah muda remaja, rupanya Nabi Muhammad dulu juga pernah mengalami ‘Kasih tak sampai’. Mungkin anda juga mengalaminya, siapa tahu? Saya dulu mengira isteri dan cinta pertama Nabi adalah Siti Khodijah rupanya bukan. Memang isteri pertamanya janda kaya itu tetapi hati Nabi pernah berlabuh pada puteri pamannya (Abu Thalib) yang cantik bernama Fakhitah (p. 45). Ia dikenal kemudian dengan nama Ummu Hani’. Mereka berdua dikatakan sudah saling ‘cocok, sudah ada chemistry’ antara keduanya kata anak muda sekarang, tetapi tatkala Nabi menyatakan niatnya mohon dinikahkan dengan Fakhitah, namun pamannya (Abu Thalib) tidak merestuinya, dan malah menikahkannya dengan pria lain bernama Hubayrah (putera saudara ibu Abu Thalib dari suku Makhzum). Pria ini kaya raya dan pintar bersyair.  Kenapa Abu Thalib begitu keras pendiriannya? Bukankah Abu Thalib sudah menyaksikan beberapa ‘keistimewaan’ Muhammad saat berdagang ke Syria dan bagaimana Muhammad kecil mendamaikan suku-suku yang bertikai paham di Mekkah? Bagaimanapun juga ‘Kasih tak sampai’ banyak melanda nasib anak manusia selain Nabi Muhammad, mungkin termasuk anda juga? ‘Kisah kasih di Sekolah’, dalam lagu Chryshe, memang tidak mesti berujung duduk berdua di pelaminan,  tetapi disitu ada cerita, ada kisah yang melekat ‘to be inherent’ dalam kehidupan anak manusia. Kisah romantis Nabi ini boleh dijadikan obat penawar sejuk bagi anda yang pernah merana karena kasih tak sampai. Who knows?

Lalu bagaimana kisah romantis Nabi dengan Khodijah janda kaya raya? Dalam buku Martin Lings ini juga disebutkan bahwa terdapat selisih beda usia Nabi dengan Khodijah 15 tahun (25 dan 40 tahun). Khadijah ini adalah sepupu Waraqah (Kristen), dan telah dua kali menjanda. Pasca kematian suami keduanya, Khadijah biasanya menyewa orang untuk mengelola bisnisnya. Kini pilihan itu jatuh pada seorang pemuda ganteng bernama Muhammad yang telah terkenal kejujurannya di kota Mekkah dengan janji Khadijah akan membayarnya 2x lipat dari bayaran tertinggi yang pernah diterima orang-orang Quraisy. Namun janda kaya itu juga menawarkan kepada pemuda Muhammad untuk ditemani oleh Maysarah (budaknya) saat membawa komoditi niaganya ke Suriah. Merekapun berangkat bersama ke Suriah, rupanya untung 2x lipat dan setelah dilaporkan keuntungan tersebut setibanya di Mekkah, Khadijah mendengarkan dengan serius laporan niaga mereka berdua, tetapi mata Khadijah tertarik, kata Martin Lings, bukan kepada laba bisnis tersebut tetapi kepada pemuda yang bercerita (p. 47). Jadi kisahnya, apakah ‘dari mata turun ke hati’ atau dari ‘laba turun ke suami’? haha..enak didengar malu diurai. Mungkin dalam hati Khadijah, ‘Yang ku cari kini bukanlah harta tetapi ketenangan jiwa’. Itu pilihan bahasa saya, bagaimana bahasa anda?

Next? Setelah pemuda Muhammad pergi meninggalkan rumah janda kaya tersebut, Khadijah ‘curhat’ dengan Nufaysah. Cerita punya cerita, Nufaysah akhirnya bersedia menjadi ‘Mak Comblang’ merundingkan antar keluarga dan mengatur pernikahan. Dikatakan juga bahwa pada kesempatan lain Nufaysah rupanya sempat tanya-tanya dengan Muhammad kenapa belum juga menikah? Jawab Muhammad: ‘Saya belum punya apa-apa untuk berumah tangga’. Lalu tanya Nufaysah pula bagaimana ‘Jika ada seorang wanita cantik, terhormat dan berlimpah harta,  apakah engkau bersedia? (p. 48). Apa jawab Muhammad? Apa jawab Nabi kita? Sayangnya Marting Lings tak menuliskannya, dan saya juga tak berani memberi komentar di sini. Silahkan anda sendiri yang membuat jawabannya.  Kemudian Nufaysah menghadap Khadijah lagi melaporkan hasil kerjanya, setelah mereka bercerita dan berdiskusi panjang lebar, lalu Khadijah menyuruh Nufaysah memanggil Muhammad untuk datang menghadap padanya, dan kali ini Nabi kita itu memang ‘melangkahkan kakinya’ menuju ke rumah janda kaya tersebut. Saya bisik-bisik dalam hati membayangkannya: Dipanggil janda kaya ni yeeee?

Apa kata-kata Khadijah? “Putra Pamanku, aku mencintaimu karena kebaikanmu padaku, juga karena engkau selalu terlibat dalam segala urusan di tengah masyarakat, tanpa menjadi partisan. Aku menyukaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran  budi dan kejujuran perkataanmu” (p. 48). So Khadijah seakan bilang: ‘I love you’ kata anak muda sekarang, ‘Will you marry me?’ (Maukah kau menikah denganku?), itu seakan kata-kata Khadijah, haha..hebat juga kisah romatisnya. Maka berlangsunglah perundingan persiapan pernikahan antara utusan yang dipimpin oleh Hamzah (yang mewakili calon pengantin lelaki) dan utusan Asad (yang mewakili calon pengantian perempuan).  Bila anda tak sabar bertanya, apa maharnya? Disepakati maharnya, bukan seperangkat alat solat, bukan sepatu dari Italia, bukan pula tas dari kulit buaya, tetapi 20 ekor unta betina. (p. 48-49). Kata Google, 1 ekor unta betina dalam kurs rupiah Indonesia sekarang mungkin sekitar Rp 35.000.000 – Rp 40.000.000,- Artinya bila harga mahar di atas dikalikan 20, maka nilai mahar nikah Muhammad dan Khadijah sekitar Rp 800.000.000. Waduh mahalnya seandainya terjadi pada diri anda, apakah anda bisa membayar mahar senilai itu dalam kondisi ekonomi Indonesia sekarang? Dengan status PNS?

Kesimpulan kisah di atas telah bercampur antara yang normative dan empirik. Kisah tragis dan kisah pilu dalam paragraph-paragraf di atas, karena ia menimpa nasib diri seorang Nabi, sangat berfaedah bagi kita sebagai umatnya. Pilihan untuk menilainya terletak di pundak anda sendiri-sendiri. Yang mungkin belum nampak bagi anda ialah bahwa Nabi Muhammad pra risalah (sebelum kerasulan) juga terikat oleh Tradisi. Contohnya jumlah mahar 20 ekor onta betina, itu adalah ikatan tradisi, diduga kuat suku Quraisy-lah yang menyediakan mahar. Itu empiris. Tetapi terkait hal meninggalnya dua ibu bapa Nabi Muhammad di kala dia masih kecil, banyak pelajaran keimanan yang diajarkan oleh para ustaz kepada kita, itu normative. Penuturan sejarah Nabi oleh Martin Lings nampaknya masih mengobjektivasi sejarah ala Hegel.

Significance of Issue (Hikmah).

Pertama, sebaiknya guru-guru agama di SD ditatar, dibekali ilmu kepandaian bercerita dalam kelas dengan teknik narasi khusus agar cerita Nabi Muhammad itu betul-betul membekas dalam memory murid-murid usia dini. Pertanyaannya, siapa yang akan bertanggung jawab menatar guru-guru agama? Mungkin bukan Diknas, tetapi Kemenag (Penais). Prof. Karlina Supelli (lulusan ITB Bandung) juga merekomendasikan agar anak-anak di waktu kecil diberikan cerita-cerita yang membuat mereka mengkhayal. Misalnya bagaimana anak-anak dapat ‘membayangkan bintang-binatang di angkasa’, dan bagi Supelli cerita di waktu kecil itu memang sangat membekas sehingga mengantarkannya setelah dewasa menjadi astronom Wanita Indonesia pertama. Buku-buku cerita kehidupan Nabi Muhammad memang perlu terus kini ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya terutama di saat anak-anak sudah asyik dengan Medsos.

Kedua, rupanya ‘kesedihan’ memang lengket dengan manusia, tetapi rasa cinta juga sama. Secara psikologis mungkin sama, tetapi kualitasnya beda-beda tergantung subjek yang mengalaminya. Seringkali kesedihan yang menimpa diri kita dianggap yang paling berat, padahal kesedihan orang lain mungkin lebih berat dari kesedihan kita. Waktu saya SLA di Yogya tahun 1975, 3 bulan baru tinggal di kota Gudeg datanglah surat dari kampung (Payakumbuh) bahwa bapak saya sudah meninggal. Berputar rasanya semua yang ada sekeliling saya, sedih, pusing, hampir pingsan mendengar isi surat yang dibacakan oleh saudara Zefrizal Nurdin (sekarang Guru Besar UNAND Padang). Waktu itu belum ada HP. Mungkin kisah sedih anda lebih dari itu. Kisah sedih setiap anak manusia memang selalu membonceng di punggungnya. Syllogisme Aristoteles kita susun: Rasa sedih dan cinta lengket dengan anak manusia. Nabi Muhammad dan kita adalah anak manusia. Maka Nabi dan kita sama-sama mengalami sedih dan cinta.

Ketiga, bagi saya pribadi, kisah di atas mengimplikasikan sikap Om/Pamannya Nabi (Abu Thalib) yang sangat keras hati. Dia memang sayang pada putra abangnya, tetapi tak mau menikahkannya dengan putrinya, dan bahkan juga tak mau “membaca kalimat syahadat” di saat ajalnya. Keras hati! Demikianlah kisah sejarah Nabi bagian II untuk kali ini. bila anda masih tertarik dengan kisah Nabi Muhammad, akan saya lanjutkan Jum’at depan bagian III Insyaallah.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *