Apakah Nabi Mendukung Patriarki?*

Dalam hubungan pernikahan, seringkali terjadi ketimpangan hak antara suami dan istri. Suami cenderung lebih menguasai dan “merajai” dibandingkan istri dalam hidup berumah tangga. Sehingga istri rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Parahnya lagi, istri tidak sadar bahwa ia sebenarnya korban dari patriarki.

Istri hanya berlaku pasif saja terhadap perintah dan keputusan suami. Istri merasa takut jika membantah suami. Jika membantah, istri takut terjadi Kekerasan. Padahal dalam membangun rumah tangga, suami dan istri harus saling kerjasama, saling komunikasi, dan memiliki hak yang setara agar tercapai keluarga yang harmonis.

Problematika Patriarki di Ranah Domestik

Realita yang kita amati, pembagian tugas domestik (rumah tangga) seringkali tidak seimbang antara suami dan istri. Seorang istri lebih banyak mengurus pekerjaan domestik. Padahal pekerjaan domestik memerlukan tenaga yang cukup ekstra. Apalagi menjadi Ibu Rumah Tangga yang sekaligus bekerja mencari nafkah.

Pekerjaan rumah tangga sering dianggap pekerjaan yang sepele. Pekerjaan yang tidak kelihatan wujudnya. Pekerjaan yang kurang diapresiasi. Pekerjaan yang sering dianggap rendah. Sehingga ada suami yang merasa gengsi mengerjakan pekerjaan rumah.

Hendaknya pekerjaan domestik ini, seorang suami juga harus ikut andil. Seperti membersihkan rumah dan mengasuh anak. Terutama dalam mengasuh anak, jangan sampai seorang ayah tidak dekat dengan anaknya sendiri. Seorang anak butuh perhatian yang seimbang antara ayah dan ibu. Bukan ibu saja.

Sifat Alami Perempuan

Kodrat perempuan seperti mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kodrat perempuan bersifat tetap, tidak bisa dirubah. Sedangkan pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, mengasuh anak bukan sifat alami perempuan. Pekerjaan domestik bisa saja dilakukan oleh siapapun, tanpa memandang jenis kelamin. Banyak chef dan fashion designer yang tersohor justru dari kaum laki-laki.

Jadi, seorang istri bisa saja mogok masak atau menyapu rumah, karena itu bukan kodratnya. Sedangkan seorang istri tidak bisa mogok menstruasi atau mengganti kelamin menjadi laki-laki. Seorang suami boleh saja memasak untuk istrinya, jika antara mereka berdua bersepakat. Tetapi seorang suami tidak bisa menyusui anak bayinya. Karena menyusui adalah kodrat perempuan.

Tugas domestik atau rumah tangga sebenarnya kesepakatan bersama antara suami dan istri. Kesepakatan yang harusnya seimbang. Misalnya suami istri saling berbagi tugas, yang menyapu rumah suami dan yang mencuci pakaian istri. Jika mereka tidak mampu karena kesibukan, bisa mencari pihak lain, yaitu pembantu rumah tangga.

Hadis Nabi Anti Patriarki

Dalam Shahih Bukhari dijelaskan bahwa Nabi selalu berkhidmat membantu pekerjaan rumah tangga, “Aswad ra berkata bahwa ia bertanya kepada Aisyah, katanya: “Apakah yang diperbuat Nabi dalam rumah tangganya?” Jawab Aisyah “Beliau juga melakukan pekerjaan rumah tangga. Apabila waktu shalat telah tiba, beliau pergi shalat”.

Kata kunci hadis diatas adalah “khidmatu ahlihi”. Dalam kamus mā’ani jamī’ khidmat bentuk isim masdar berasal dari kata khadama-yakhdumu yang berarti sā’ada fil amal (membantu dalam pekerjaan). Dalam kamus Munawwir berarti melayani dan mengabdi. Rasulullah senantiasa membantu istri beliau dalam pekerjaan dalam keluarga. Jadi rasululah sebenarnya sudah mengajarkan prinsip kesetaraan dan saling mendukung antara suami dan istri dalam pernikahan.

Hadis di atas masih bermakna umum, belum dijelaskan secara spesifik pekerjaan apa yang nabi tolong dalam keluarga. Dalam kitab Fathul Bari yang berisi penjelasan hadis Shahih Bukhari karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau menjelaskan hadis tersebut “hal ini mendorong kerendahan hati, meninggalkan kesombongan, dan tugas seorang suami untuk melayani keluarganya”.

Hadis riwayat Imam Ahmad di bawah ini, menjelaskan secara detail pekerjaan domestik yang beliau lakukan seperti menjahit, memperbaiki sepatu dan membantu pekerjaan rumah tangga: “Dari Aisyah, ia pernah ditanya apa yang dilakukan Rasulullahdi rumah. Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab, “Beliau menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sendalnya, dan mengerjakan segala apa yang (layaknya) para suami lakukan di dalam rumah” (HR. Ahmad 23756)”.

Nabi tidak ingin merepotkan orang lain, terutama kepada istrinya. Justru beliau menjahit pakaian dan memperbaiki sandalnya sendiri. Inilah bukti bahwa nabi sangat mengasihi istri beliau. Beliau tidak suka memerintah istrinya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Beliau sangat anti patriarki. Hadis ini juga berpesan bahwa nabi sangat sederhana. Sikap seperti inilah yang seharusnya menjadi teladan bagi suami-suami yang suka menyuruh istrinya.

Hadis di atas memang tidak menjelaskan secara rinci pekerjaan rumah yang biasa dilakukan oleh perempuan seperti memasak, mencuci piring dan mencuci pakaian. Tapi dalam konteks rumah tangga, apakah pekerjaan itu dianggap hina jika dilakukan oleh suami? Tentu saja tidak. Justru suami seperti itu adalah suami yang rendah hati dan perhatian. Suami yang tidak ingin melihat istrinya letih sendirian mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

*Terbit pertama kali pada platform ibtimes.id, 17 September 2025.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *