Dalam sejarah bangsa Indonesia, ulama tidak hanya dikenal sebagai pemuka agama, tetapi juga sebagai penjaga moral publik dan penggerak perubahan sosial. Peran ini terlihat jelas sejak masa kolonial, ketika para ulama turut memimpin perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Dalam konteks kontemporer, meskipun sistem kekuasaan sudah dibingkai oleh demokrasi, suara ulama tetap dibutuhkan sebagai penyeimbang yang mengingatkan pemerintah agar tidak tergelincir dalam praktik kekuasaan yang abai terhadap nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran. Ulama dengan integritas moralnya berperan menjaga agar kebijakan publik tidak semata-mata didasarkan pada kepentingan politik atau ekonomi, tetapi juga berakar pada etika dan kemaslahatan bersama.
Dalam realitas sosial-politik Indonesia, posisi ulama juga memiliki keunikan tersendiri. Tidak seperti di negara-negara sekuler ekstrem yang memisahkan agama dari ruang publik, Indonesia memberikan tempat bagi agama dalam ranah kenegaraan. Hal ini tercermin dalam Pancasila, khususnya sila pertama yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar. Artinya, peran tokoh agama, termasuk ulama, bukan hanya dibolehkan hadir dalam wacana kebangsaan, tetapi justru diharapkan menjadi mitra strategis negara dalam menjaga arah moral pembangunan. Ketika ulama menyuarakan aspirasi rakyat kecil, membela keadilan sosial, atau menolak kebijakan yang merusak nilai kemanusiaan, mereka sejatinya sedang memperkuat akar kebangsaan itu sendiri.
Kritik ulama terhadap pemerintah bukanlah bentuk perlawanan, melainkan bagian dari tanggung jawab keagamaan dan kewarganegaraan. Dalam Islam, konsep amar maʿrūf nahi munkar mewajibkan setiap individu, terlebih lagi ulama sebagai pewaris nabi, untuk menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa, bahkan jika itu terasa pahit. Ketika ulama bersuara terhadap ketimpangan sosial, penyalahgunaan wewenang, atau kebijakan yang merugikan rakyat, mereka sedang menjalankan peran profetik yang sangat mulia.
Namun demikian, suara moral ulama harus dibingkai dengan etika dan akurasi. Kritik harus dibangun atas dasar data yang kuat, dilakukan dengan adab, serta tidak terjebak dalam ujaran kebencian atau kepentingan politik sesaat. Ulama bukan sekadar komentator kebijakan, melainkan penjaga nalar publik yang mendorong kesadaran kolektif. Ketika kritik dilakukan secara bijak, bukan hanya legitimasi pemerintah, tetapi juga kepercayaan umat terhadap otoritas keagamaan. Karena itu, ulama tidak boleh tenggelam dalam polarisasi politik atau dijadikan alat kekuasaan. Mereka harus berdiri di atas semua golongan, menjembatani suara rakyat dan pemerintah, serta menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas sosial.
Dalam era digital yang penuh disinformasi, peran ulama semakin penting dalam menyampaikan pesan kebenaran dan nilai moral dengan narasi yang mencerahkan. Di tengah kegaduhan politik dan erosi kepercayaan terhadap lembaga publik, ulama dapat menjadi jangkar moral yang menuntun arah kebijakan kepada prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu, suara ulama dalam ruang publik bukanlah ancaman, melainkan bagian dari mekanisme kontrol sosial yang sehat. Pemerintah dan masyarakat perlu membuka ruang dialog yang jujur, egaliter, dan saling menghormati.
Di tengah kemajuan zaman dan kompleksitas tata kelola negara, suara moral dari para ulama justru semakin dibutuhkan. Modernisasi membawa banyak manfaat, tetapi juga menyisakan tantangan serius: ketimpangan sosial, hedonisme, korupsi, serta lunturnya kepekaan moral dalam pengambilan kebijakan. Di sinilah ulama dapat hadir sebagai penjaga kesadaran moral kolektif yang kerap tersisih dari diskursus kekuasaan. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh angka dan data, ulama membawa dimensi nilai dan nurani yang tidak bisa diukur oleh algoritma atau survei politik semata.
Namun, tantangan datang dari dua arah. Di satu sisi, ada kekuatan politik yang mencoba membungkam kritik keagamaan dengan labelisasi seperti radikal, politis, atau tidak cinta NKRI. Di sisi lain, ada sebagian ulama yang justru terjebak dalam narasi sektarian, mudah digiring oleh kepentingan politik pragmatis, atau menjadikan mimbar sebagai alat provokasi. Keduanya berbahaya: yang pertama menciptakan ketakutan bersuara, sedangkan yang kedua menciptakan kebisingan yang memecah belah umat. Oleh karena itu, penting bagi ulama untuk menjaga kemurnian niat dan kedalaman intelektualnya, serta bagi pemerintah untuk tidak alergi terhadap kritik yang dilandasi cinta tanah air dan kepedulian sosial.
Dalam kerangka tersebut, ulama dapat menjalankan peran ganda: sebagai pengawal moral masyarakat sekaligus mitra korektif bagi pemerintah. Keberanian bersuara bukan berarti oposisi permanen, dan dukungan terhadap kebijakan bukan berarti loyalitas buta. Justru di antara dua kutub itu, ulama berdiri sebagai penjaga keseimbangan yang setia pada prinsip, bukan pada kursi. Mereka adalah penyambung suara nurani rakyat kepada kekuasaan, dan penyampai pesan kebenaran dari langit ke bumi yang riuh oleh kepentingan.
Maka, di tengah krisis kepercayaan, kegaduhan politik, dan disorientasi arah pembangunan, ulama sejatinya adalah harapan. Bukan hanya untuk memandu masyarakat dari sisi spiritual, tetapi juga untuk menjaga agar politik tetap bermoral dan kebijakan tetap berpihak pada rakyat. Ketika ulama bersuara demi kemaslahatan, bukan untuk popularitas, di situlah kekuasaan bisa kembali melihat dirinya di cermin dan memperbaiki arah sebelum terlambat.
Tinggalkan Balasan