Bapak-bapak/Ibu-ibu/Adik-adik dan semua mahasiswa di mana saja berada baik di dalam maupun di luar negeri. Semoga kita sehat-sehat semua. Senang hati saya karena anda sudah sudi membaca tulisan saya setiap Jumat, mungkin sudah hampir 2 tahun hingga kini. Banyak judul tulisan sudah saya tulis, banyak WA, hasilnya didapat banyak saudara. Terukir indah silaturahmi antara kita, jalinan persahabatan di balik untaian kalimat-kalimat yang bersifat ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan agama. Jumat ini tulisan hadir dalam bentuk Review, tinjau ulang, sekaligus untuk menghargai dan meninjau ulang berbagai komentar dan kritik yang telah saya terima selama ini demi perbaikan tulisan ini ke tahap yang lebih bagus. Maka ada beberapa poin yang ingin saya diskusikan. Pertama, saya sangat menghargai kritik dan saran anda atas tulisan saya, tetapi bagaimana sebaiknya kritik tersebut dibuat, terutama bagi adik-adik mahasiswa? Kedua, apa batas-batas argumentasi anda yang kiranya akan membuat ‘titik temu’ untuk semua pembaca? Ketiga, apa batas-batas normativitas agama dan keterbukaan ilmu pengetahuan yang seyogyanya kita pahami dalam berargumentasi?
Dari tiga persoalan tersebut diharapkan diskusi kita ke depan akan mendapatkan sedikit pencerahan keilmuan. Memang tulisan saya tidak terlalu berat bobot ilmiahnya karena tulisan ini bukan khusus ditulis untuk jurnal, bukan pula dakwah agama, bukan karya ilmiah akademik, tetapi hanya sekedar ‘camilan’ (makanan kecil) kata teman dari Kelantan: ia gurih, harum, indah, tetapi ‘pedas-pedas’ sedikit bercampur ‘dedak rendang Padang’ namun tetap dikemas dalam nuansa ukhuwah/persaudaraan semua manusia. Maka sekarang saya sadari bahwa yang susah itu bukan menuliskan ide, tetapi bagaimana merawat persaudaraan setelah ide-ide dituliskan. Kadang-kadang terbit air mata saya sendiri tatkala menyusun kata-kata hingga larut pukul 12 malam Jumat, karena untaian kata-kata itu dirasakan keluar dari lubuk sanubari, tanpa pamrih, tanpa honor. Maka yang susah dalam menulis bukan membuat kata-kata tetapi ‘menyambungkan rasa’ usai membuat kata-kata. Di situ kuncinya.
Sebetulnya tulisan saya adalah tulisan kita bersama, karena sudah banyak pembacanya. Ada banyak tokoh nasional, guru besar, dosen, ulama, tokoh masyarakat, politikus, seniman, wirausahawan, jurnalis, ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah pensiun duduk di kursi kesayangan di rumahnya, mahasiswa dan tetangga, ibu-ibu rumah tangga serta adik-adik keluarga terdekat yang sudah sudi membaca tulisan saya setiap Jumat, mulai dari Jambi hingga ujung Sumatera sampai Indonesia Timur, dari Aceh hingga Lombok dan Makasar, mulai dari Indonesia hingga Malaysia, Yaman, Mesir, Eropa dan Amerika: semua jadi saudara. Akibat silaturahmi lewat WA, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Juga teman-teman semasa sekolah dulu di bangku SD, di PGAN Payakumbuh, PHIN Yogyakarta, Al-Azhar Mesir, guru-guru besar alumni Canada dari berbagai universitas, UGM, UII, IPB, Hakim Tinggi, Mahkamah Agung, candidat dan alumni S3 di UIN Yogyakarta, Jakarta dan Surabaya tentu saja teman-teman dari UIN Jambi dan Universitas Jambi (UNJA) semuanya sudah bagaikan keluarga besar yang sangat saya banggakan. Kadang-kadang berjumpa teman di acara-acara pertemuan, di saat arisan sekampung, di dalam lift di Gedung kuliah, di halaman kampus, di hotel dan di masjid, semua mengatakan senang membaca tulisan saya membuat rasa gembira saya tak tertahankan. ‘Ini pak Amhar yang di Jambi ya? tanyanya. Ada rasa puas dalam hati karena semakin hari semakin banyak teman, senang hati saya ketika diam-diam di pagi hari usai solat subuh saya ‘intip’ siapa-siapa yang telah membaca WA saya setiap Jumat, maka ketahuan pada jam dan menit berapa dia telah membuka WA, rupanya ada yang membaca di saat larut malam misalnya Prof. Mahfud MD.
Sebetulnya ada beberapa tokoh intelektual yang seakan mendorong ‘punggung’ saya dari belakang untuk maju ke depan, mendesak saya agar terus menulis setiap Jumat, tapi nama-namanya saya sembunyikan kecuali Ustaz Marzuki Arsyad di Jambi yang sangat gigih mendorong saya untuk menulis. Ada Prof. Muhlison dari Pekalongan yang berjasa mengoreksi paragraf saya. Ada Dr. H. Hamim Ilyas M.Ag tokoh Muhammadiyah yang mengoreksi bahasa Arab saya. Ada Uda Prof. Adrianus dari UIN Jambi yang menginginkan saya sebaiknya produktif dari dulu untuk menulis. Ada Ustaz Zuhri Idris ulama di Jakarta yang sering memberi komentar bagus. Ada Prof. Hasbi Amiruddin dari Aceh yang sering gelisah bertanya kenapa tulisan saya di hari Jumat belum ditemukannya, belum dibacanya dalam WA? Bahkan Ibu-Ibu juga turut mendorong. Hebat. Dukungan psikologis juga datang dari warga RT komplek saya di Jambi. Demikian pula dukungan adik-adik dan anak kandung. Dorongan psikologis mereka sangat luar biasa. Selain dorongan psikologis, juga muncul beberapa saran agar tulisan saya ini dikirimkan ke Republika, agar dicetak dijadikan buku, tetapi yang terlaksana hingga kini setiap Jumat antara lain telah dimuat di Google oleh sdr. Nanda dari Bengkulu dan sedang dibukukan oleh saudara Rafii di UIN Jambi. Bahkan sebelumnya telah banyak adik-adik di Tembilahan, Pekan Baru, Jakarta, Payakumbuh dan Jambi yang berjasa atas tulisan saya. Terima kasih dari hati saya yang tulus kepada anda semua dan khusus bagi yang sedang membaca saat ini.
Memang banyak informasi dan pengetahuan yang berserakan di antara kita tetapi tidak semuanya patut untuk disampaikan sebab ia akan membuat ‘jembatan’ persaudaraan kita ambruk. Maka ia saya hindari. Banyak kebenaran ajaran Islam yang mencuat dari pikiran otak saya tetapi tidak semuanya bisa disampaikan agar ‘jembatan’ kita tidak retak. Maka ia juga saya hindari. Biarlah ustaz2 yang menyampaikannya dalam berceramah. Bahkan ada teman mengkritik saya jangan hanya berbicara ide di tulisan (mirip dialektika Hegel) tetapi harus turun ke lapangan (mirip dialektika materialisme historis Karl Marx): wujudkan ide tersebut ke dunia nyata katanya, bila perlu dengan cara. Maka tulisan saya dirancang untuk berjalan di antara kisi-kisi dan kritik semacam itu. Dalam bahasa Prof. Syamsul Anwar, yang lebih saya utamakan dalam menulis adalah memikirkan ‘tujuan’ (causa finalis) bukan sekedar memikirkan ‘cara’ (causa efficient). Ini dilema tak berkesudahan dalam memposisikan tulisan: menurut anda bagaimana sebaiknya? Kalaulah tulisan saya ibarat karya sastra, maka yang menggerakkan sastra sebenarnya adalah daya pikat dari pada apa-apa yang tidak ada dalam kosa kata, ujar Italo Calvino.
Kembali kepada pertanyaan di atas. Bagaimana sebaiknya kritik tulisan dibuat terutama bagi adik-adik mahasiswa? Sejauh yang saya pahami dari guru saya Prof. Donald Little di Canada, bila kita mengkritik orang sebaiknya yang dikritik adalah ‘tesis utamanya’. Apa maksud tesis utama? Tesis utama ialah pola pikir yang sangat mendasar yang terus dipertahankan si penulis dalam suatu tulisan. Ia tidak beranjak dari situ. Ia mati-matian mempertahankannya. Ibarat pohon, tesis utama itu adalah akar tunggangnya, bukan ranting-ranting pohon. Akar tunggang itu yang kita tembak, kita robohkan, kita kritik, jangan dikritik contoh-contoh kecil, sepele, yang dibuatnya yang bertebaran dalam tulisannya. Ini biasanya yang saya terima dari kritik adik-adik. Ibarat menembak burung, yang adik-adik tembak selama ini bukan dada burung tetapi ujung sayapnya, ya meleset. Cobalah bidik dari jauh kepala atau dada burung tersebut agar tembakan anda jitu, tepat sasaran, lalu ambruk, kalau tidak ambruk? nanti bisa jadi burungnya terbang lagi. Apalagi yang anda tembak ‘pribadi’ orangnya, bukan isi argumen atau ide pemikirannya. Ini dinamakan dalam bahasa Latin Ad Hominem. Metode ini sangat perlu disadari bagi mahasiswa.
Contoh, tulisan saya yang berjudul Effective History terbit tanggal 29 Agustus 2025 yang lalu. Tesis utamanya, urat tunggangnya, kepala burungnya ialah tidak ada pandangan kita yang bebas sama sekali dari subjektivitas kita. Setiap kali kita memahami atau menginterpretasi sesuatu, maka di situ sudah ada unsur-unsur subjektivitas kita. Effective History oleh Gadamer menyuruh kita menyadarinya dan saya mengadopsi tesis tersebut. Cobalah robohkan itu! Buktikan bahwa suatu interpretasi atau proses memahami bisa bebas dari pengaruh si penafsir. Contoh lain, buktikan sosok ulama besar yang anda pajang di dalam rumah memang terbebas dari sifat manusiawinya. Katakan bahwa foto ulama-ulama yang anda pajang di rumah anda persis seperti yang ada dalam kepala anda: ya sifat baiknya, alimnya, wara’-nya, ilmunya, dan sikap kesehariannya. Singkat kata, foto ulama tersebut ideal seperti yang ada dalam kepala anda, seperti yang anda pikirkan, meskipun dia telah hidup puluhan tahun menjadi manusia. Demikian pula tentang Ustadz Somad dalam berdakwah. Buktikan tatkala menafsirkan ayat dia bisa bebas sama sekali dari pengaruh NU-nya, pengaruh Ahlus Sunnah-nya, Asy’ariyah-nya, Syafi’iyah-nya, dan Pancasilais-nya. Buktikan bahwa Ustadz Somad bisa menafsirkan ayat sebagaimana 100% mirip maksud Allah. Kalau bisa, maka tesis saya “ambruk”, Effective History Gadamer roboh, tetapi silaturahmi kita harus tetap terjaga. Di situ kita belajar.
Hal yang pernah terjadi ialah tatkala ada teman yang mengkritik seseorang dan dalil al-Qur’an serta Hadis langsung muncul untuk memperkuat argumennya. Ini bagus tetapi kurang tepat. Kenapa kurang tepat? Sebab dalil al-Qur’an dan Hadis itu bersifat normatif. Normatif artinya tak dapat diperdebatkan lagi, harus diterima apa adanya sesuai dengan standar “norma”. Sementara orang yang mengkritik hanya ‘menyandarkan’, dia berlindung kepada dalil-dalil normatif tersebut. Ia datang belakangan, menyusul dalil. Dan dalil al-Qur’an tersebut dulunya diturunkan Allah di Arab bukan khusus untuk menopang pendapatnya kelak di Indonesia. Maka kita harus melihat dua hal yang berbeda di sana. Pertama ada dalil yang normatif, ini terdapat pada Kalam Tuhan dan Hadis Nabi, dan kedua ada ‘pendapat orang’. ‘Pendapat orang’ ini tidak sama derajat dan kualitasnya dengan Kalam Allah dan Hadis Nabi: sementara yang mengkritik tidak menyadari adanya dualitas perbedaan tersebut, kebenaran argumennya disangka sudah sama dengan kebenaran Kalam Allah, di sini pangkal kelirunya. Seumpama sebuah pisau, dia tidak bisa membedakan antara pisau dan sarung pisau. Disangkanya sarung pisau adalah juga pisau. Ini problem melekat pada umumnya kita yang sering menyanggah pendapat orang lain dengan menggunakan dalil al-Qur’an dan Hadis. Orang lain yang menyangkal pendapatnya lalu dihakiminya sebagai menyangkal (kafir) pada Kalam Allah dan Rasul. Inilah yang dinamai oleh Prof. Amin Abdullah dengan Truth-Claim (Pembenaran Sepihak). Saya hanya akan tersenyum bila dikritik seperti ini, untunglah belum terjadi.
Di segi lain, dunia ilmu pengetahuan modern berbeda dengan ceramah agama. Ilmu pengetahuan berorientasi luas, inklusif untuk semua manusia, sementara ceramah agama hanya khusus, eksklusif untuk suatu jemaah atau umat agama tertentu. Maka ada kebenaran dalam Islam, dalam Kristen, dalam Hindu. Ada kebenaran dalam NU, Muhammadiyah, Asy’ariyah dan Syafi’iyah. Kebenarannya tidak satu, tetapi berbeda-beda. Dalam filsafat Gadamer, kebenaran adalah hasil tangkapan kita yang belum selesai, kebenaran adalah sesuatu yang selalu menyingkapkan dirinya pada kita, maka tidak ada kata selesai. Being that can be understood is language katanya. Selain itu, ilmu pengetahuan bersifat rasional, empirik (dialami di dunia nyata), boleh diperdebatkan, sementara ceramah agama umumnya bersifat keyakinan/akidah, dogmatis/tertutup, tak boleh diperdebatkan. Ilmu pengetahuan mengoreksi, melanjutkan dan meningkatkan apa-apa yang sudah ditemukan, sementara ceramah agama mengulang, memperkokoh akidah dan ajaran-ajaran yang sudah diterima kebenarannya dalam tradisi. Ilmu pengetahuan siap untuk dikritik, ilmu agama biasanya tersinggung bila dikritik terutama oleh pengikutnya. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan bersifat sementara hingga ditemukan yang lebih benar, lebih teruji, sementara kebenaran agama bersifat final, ia diyakini sebagai kata-kata Tuhan, walaupun manusia ikut terlibat menginterpretasikannya. Tuhan tak bisa didengar langsung ucapannya. Al-Qur’an sebagai Das Ding an Sich (Ia sendiri) tak bisa berbicara bila kita kutip kata-kata Immanuel Kant.
Maka di saat orang mengucapkan Qalallahu Ta’ala sebetulnya adalah Firman Allah yang diulang mengucapkannya oleh orang tersebut. Banyak orang mengucapkan Qala Rasulullah sebetulnya yang terjadi adalah Hadis Nabi sedang diucapkan ulang oleh yang mengucapkannya, sebab saat itu bukan Nabi yang sedang berbicara, tetapi ada orang yang mengulangi, mengutip menyebut Hadis Nabi. Tatkala dia mengutip Hadis tentu berdasarkan pilihannya. Mustahil dia tak memilih karena Hadis Nabi ribuan jumlahnya. Ini menurut ilmu pengetahuan, sementara bagi kebanyakan kita, biasanya setiap terdengar Qalallahu Ta’ala dan Qala Rasulullah memang betul-betul diyakini Tuhan dan Nabi Muhammad yang sedang berbicara (langsung). Setiap untaian kalimat yang muncul dari orang yang mengucapkannya ditelan mentah-mentah, diterima kebenarannya tanpa dipertanyakan lagi (taken for granted). Maka dalam tulisan saya setiap Jum’at terasa sulit meniti ‘lorong-lorong sempit’ semacam itu, saya harus hati-hati, dan dijaga agar pembaca jangan sampai tersulut emosi. Tulisan saya menari-menari di lorong sempit semacam itu: berusaha tidak terlalu ilmiah, tidak terlalu dogmatis, tidak terlalu positivistis, tidak terlalu fanatis: jalinan persahabatan lebih utama. Bagi saya dalam menulis, bukan sulit menuliskan kata-kata dan idenya, tetapi sulit memikirkan apa dampaknya. Bukan sulit mengikat minat anda, tetapi sulit mengikat hati anda. Bila terlalu rendah kualitas ilmiah tulisan saya, para insan akademis, guru besar, dosen dan mahasiswa akan malas membacanya. Terlalu tinggi bobot ilmiahnya, kental filosofis, kurang agamis, orang kampung saya dan jamaah arisan saya akan malas membacanya. Putus asa tidak elok, maka di saat-saat seperti itu teringat kata orang Minang: “Apo ka tenggang badan denai?” Kata orang Betawi “Ya gue harus ngapain lagi?”
Kesimpulan
Tulisan saya setiap hari Jumat adalah juga tulisan anda, milik kita bersama. Tulisan saya merupakan ramuan banyak ide teman-teman, ide guru-guru besar, ide mahasiswa-mahasiswa, ide dosen-dosen dan para kyai sehingga kini saudara pena telah menjelma menjadi saudara WA. Semakin saya menulis semakin banyak teman, banyak pembaca, luas jaringan sosial, semakin bertambah luas wawasan intelektual. Saya menulis, anda membaca, saya merangkai ide dan kata-kata, anda mengoreksi ide dan memperhalus kata-kata, kita bersama di “Dunia Maya” sebelum ajal datang menjemput kita. Ya Allah berkahilah tali persahabatan kami, meskipun beda agama, walaupun beda budaya. Mari bersama kita rajut persahabatan dalam mencari Titik Temu, (Kalimatun Sawa’).
Significance of Issue (Hikmah)
Berjalan di ‘lorong sempit’ memang rumit. Menuliskan kata-kata yang tak menyenggol orang lain memang sulit. Seandainya anda tersenggol sedikit tolong dimaafkan, ia bukan disengaja tetapi memang karena ‘lorongnya sempit’. Bahasa tulisan di WA lebih sensitif, mudah tersenggol, dari pada bahasa lisan di saat jumpa muka. Boleh jadi lain isi WA saya, lain interpretasi anda, sementara saya jauh dari Jambi meskipun kita dekat di hati. Memang dikatakan orang banyak menulis otak banyak bekerja, banyak membaca semakin lambat tua. Maka tulisan saya tiap Jum’at berguna bagi kita bersama. Bukankah yang lebih bijak dalam hidup ini melakukan apa-apa yang lebih penting dan lebih bermakna bagi kita dan bagi orang lain dari pada sekedar menuruti apa-apa yang kita inginkan?
Sekian dulu Bapak-bapak/Ibu-ibu dan Adik-adik kawula muda semuanya, mohon maaf bila ada salah kata. Terima kasih telah membaca “review” ini.
Tinggalkan Balasan