“Cahaya bisa menyingkap, matahati bisa memberi penilaian, serta hati bisa menghadap dan membelakangi.”
– Ibnu ‘Athaillah
Kata-kata bijak dari Ibnu ‘Athaillah di atas menyiratkan bahwa hati adalah poros utama dalam merespons cahaya kebenaran. Ia dapat jernih dan lapang, tapi juga bisa keruh dan sempit. Kebenaran sejatinya telah tampak bagi hati yang mau membuka diri, tetapi tidak semua hati siap untuk menerima kebenarannya.
Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa setiap kata, sikap, dan perbuatan yang kita lakukan adalah cerminan keadaan hati. Dalam bahasa Arab, hati disebut “qalb”, berasal dari bahasa Arab “qalaba” yang berarti “berbalik” atau “berubah-ubah”. Dalam KBBI, hati diartikan sebagai “sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin” dan/atau “tempat menyimpan pengertian, perasaan dan sebagainya”. Bertolak dari pengertian ini, adalah kewajaran jika hati memiliki sifat tidak stabil: hari ini merasa tenang, besok gelisah; hari ini menerima, besok menolak; hari ini terasa lapang, besok terasa sempit.
Hati manusia, dalam perspektif tasawuf, cenderung tidak konsisten, kecuali disinari oleh cahaya Allah (nūrullāh). Cahaya inilah yang menjadi sumber keberkahan, kebenaran, dan ketenangan dalam menjalani hidup. Ada saat kita begitu lembut dan ramah, ada juga saat kita bersikap dingin dan meledak-ledak. Energi negatif dapat muncul dari mana saja. Karena itu apa pun jabatan, status, dan kesibukan duniawi seyogyanya tidak menjadi penghalang bagi kita untuk terus memperbaiki diri. Di sinilah nūrullāh dibutuhkan untuk menyinari hati. Jika hati baik, maka baik pula seluruh tubuh dan perilaku. Jika hati keruh, maka keruh pula tubuh dan perilaku seseorang.
Kebenaran dapat hadir jika seseorang menerima masukan dengan tangan terbuka. Kadang-kadang, cara Tuhan menyadarkan kita–yang tengah tersesat–adalah dengan mengirimkan orang yang mengingatkan. Mata hati yang jernih akan mengambil keputusan: memilih kebenaran sebagai jalan hidup. Namun, sebagaimana watak hati yang berbolak-balik, kebenaran sering kali diakui dalam lisan tapi diingkari dalam tindakan. Bersikaplah tulus agar segalanya terasa mulus. Bersikaplah wajar agar hidup tidak tercemar.
Hati menjadi penentu utama dalam laku hidup: menolak atau menerima, mendorong atau menarik mundur, menghadap kebenaran atau berpaling darinya. Hati manusia, kata para bijak, ibarat permukaan air: bisa jernih memantulkan cahaya, bisa pula keruh dan menipu pandangan. Mulut kita mungkin berkata lain, tapi dalam lubuk hati kita bermuara pada kebaikan. Belajar mendengarkan kata hati dan melakukan instropeksi diri adalah kunci sukses kehidupan. Oleh sebab itu, berhentilah mengejar apa yang hanya memuaskan keinginan sesaat. Bangunlah dari kelalaian dan tidur panjang, jadikan mimpi sebagai manifestasi perwujudan kehendak nyata untuk kehidupan umat manusia yang lebih baik
Tinggalkan Balasan