Disclaimer
Tulisan saya ini setiap Jum’at bertujuan untuk merajut persahabatan, tidak bermotif politik praktis, tetapi lebih cenderung kepada filsafat, lintas agama, lintas budaya dan berkomitmen untuk pengembangan cara berpikir yang berdasarkan ilmu pengetahuan akademik. Silahkan anda baca bila ada waktu luang. Audien saya diutamakan kawula muda, sebab Bung Karno mengatakan ‘Siapa yang memegang Pemuda hari ini, maka dia akan memegang hari esok’. Saya mohon maaf bila ada pihak-pihak yang tersinggung, atau kata-kata yang kurang tepat, maka ketahuilah itu bukan dari niat kesengajaan saya.
Yth, bapak-bapak, ibu-ibu atau adik-adik ku dan segenap mahasiswa dan kawula muda di mana saja berada.
Saya berasal dari kampung, maka kiasan cerita berikut juga menurut tradisi di kampung tetapi bukan ‘kampungan’. Pernah seorang petani bertemu ular besar di sawah, lalu dibacoknya dengan parang sehingga putus kepalanya. Kepala ular yang putus (buntung) tersebut diangkatnya dengan tangan kirinya ke udara dan diberitahunya orang lain: ‘Ini Ulaaaar’ katanya. Orang-orang yang melihatnya percaya dan kagum melihat kepala ular, tetapi sebenarnya mereka lupa ada potongan ekor ular yang masih terbenam dalam sawah. Itu kiasan/metafora saja.
Metafora cerita di atas, bila diangkat dalam bidang filsafat Gadamer seakan cocok untuk menggambarkan apa yang disebutnya dengan Effective History (Wirkungsgeschichte). Effective History (Sejarah Berdampak/Sejarah Pengaruh) menurut terjemahan Prof. F. Budi Hardiman ialah ‘keterlibatan kita dalam sejarah, yakni suatu situasi yang di dalamnya kita sebagai pelaku-pelaku sejarah tidak melampaui sejarah’ (Lihat Buku Seni Memahami, 176). Memang kita tidak melampaui sejarah, menurut saya, tetapi lupa mengingatnya, ibarat lupanya si petani dengan ‘ekor ular’.
Jadi Effective History ialah bayang-bayang masa lampu yang selalu mempengaruhi cara pandang kita hari ini yang “perlu disadari”. Maka muncullah beberapa pertanyaan: Apa pentingnya memahami Effective History? Apa relevansinya dengan pembacaan teks? Lebih jauh apa signifikansinya bagi pembacaan hadis dan penelitian akademik kita di bidang sosial ? Izinkan saya mengulasnya dengan pendekatan empiris-hermeneutis agar adik-adik kawula muda dan mahasiswa-mahasiswa mampu melihat tradisi keilmuan Islam dengan lebih jernih. Itu saja yang penting bagi kita dalam mengutip filsuf besar ini. Sebab sejarawan terkenal Prof. Taufik Abdullah berpesan bahwa pandangan orang lain dapat membantu kita untuk melihat persoalan kita dengan lebih jernih. Mari kita mulai.
Dalam sejarah disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan dulu pernah berdagang batik, tetapi gambar/foto berdagang batik itu tidak dipajang lagi di kantor PP Muhammadiyah. Yang dipajang sekarang adalah foto besar sosok Kh. Ahmad Dahlan oleh Pengurus di kantor PP Muhammadiyah, tetapi di sana tidak dipajang gambar Kh. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU). Dan foto Kh. Hasyim Asy’ari juga dipajang besar-besar di kantor PBNU, tetapi tidak dipajang di kantor PP Muhammadiyah. Warga NU dan warga Muhammadiyah, termasuk saya dan anda mungkin, akan bilang itu benar. Tetapi kita lupa mengingat bahwa mereka dulu sama-sama nyantri, pernah belajar bersama dengan guru yang sama.
Jadi nampaknya foto akan bermakna sejauh mana ia dimaknai oleh orang yang punya foto. Dengan kata lain, foto sang tokoh akan tetap dipajang selama ia bermakna bagi pengagumnya. Apa buktinya? Muhammadiyah dulu sempat melarang foto Kh. Ahmad Dahlan untuk dipajang, karena dikhawatirkan akan terjadi pengkultusan individu, tetapi kemudian diperbolehkan lagi untuk dipajang hingga kini. Mana tau suatu saat Muhammadiyah akan melarang kembali atas dasar dalil pada teks yang bernama Saddu Dzari’ah. Kita lihat saja nanti.
Sebetulnya siapa sosok Kh. Ahmad Dahlan? Beliau itu nama kecilnya adalah Muhammad Darwis tetapi warga Muhammadiyah nampaknya lupa nama asli tersebut. Siapa pemilik awal nama Ahmad Dahlan? Dalam buku Muhimmatun Nafais terbitan Mekah (sekarang naskahnya tersimpan di Leiden kata Nico Kapten karena dulu dibawa oleh Snouck Hurgronje) dikatakan bahwa seorang ulama besar di Mekah dulu bernama Ahmad Dahlan, dan nama itulah yang kemudian dipakai oleh Muhammad Darwis yang kembali ke Indonesia setelah dua kali naik haji ke Mekah. Sekarang mungkin warga Muhammadiyah dan kaum Muslimin Indonesia umumnya lupa sejarah (faktual) tersebut. Di sini nampak ada Cakrawala Zaman dimana sifat-sifat manusiawi sang tokoh dilupakan pengikutnya, maka Effective History perlu disadari.
Demikian pula bila anda tamat pesantren, maka sekarang bayangan masa-masa lalu di pesantren selalu mempengaruhi cara pandang anda hari ini. Masalahnya bayang-bayang masa lalu itu “jarang disadari” oleh kita. Masa lalu Amhar adalah terbiasa makan rendang Padang, bila dihidangkan Sushi makanan khas Jepang, ya kurang berselera (sebab saya punya bayang-bayang cita rasa kuliner masa lalu). Bila anda biasa merokok Gudang Garam di Indonesia, setelah lama di luar negeri tiba-tiba ada yang membawa rokok Gudang Garam, maka anda dan semua teman-teman lain berebut mencicipinya walaupun agak satu isap. Itulah Effective History. Kita tidak bisa lepas darinya.
Effective History juga terjadi dalam kehidupan suami isteri. Setelah pernikahan, pasangan suami isteri kadangkala cekcok. Suami baru kadangkala ‘ngotot’, isterinya juga tak kalah ‘ngotot’ maka terjadilah cekcok. Tatkala bercekcok yang terjadi sebenarnya adalah dua Effective History saling berbenturan dan belum terjadi dialog yang mencari titik temu bersama. Anda sebagai suami-isteri harus menyadari hal tersebut. Solusinya? Ya coba contoh kebijakan para pendiri bangsa dalam merumuskan Pancasila dalam paragraf di bawah ini.
Dikatakan bahwa rumusan UUD 45 itu mulanya bertuliskan ‘Kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para pemeluknya’ tetapi datang “keberatan” atas kalimat tersebut dari saudara-saudara kita non-Muslim dari Indonesia Timur di bawah pimpinan Dr. J. Leimena. Akhirnya para pendiri bangsa (Soekarno, Hatta, Yamin, Abi Kusno dan lainnya), demi mempertimbangkan persatuan, mencari titik temu, dengan bijak rela mencoret dan merubah kalimat tersebut menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ demi kehidupan bersama yang kekinian dan futuristik. Ini namanya Effective History yang telah didialogkan dengan situasi kekinian (1945) dengan cara-cara yang konstruktif. Bila para tokoh-tokoh tersebut ngotot, barangkali kemerdekaan mungkin belum bisa diproklamirkan. Maka kehidupan suami-isteri seyogyanya mencontoh kebijakan demikian, mampu mendialogkan pengaruh masa lalu dengan kondisi kekinian demi keutuhan rumah tangga anda. Itu namanya suami-isteri yang bijaksana, bila terus cekcok non-stop berarti anda belum bijaksana. Sekarang anda pada posisi yang mana?
Dalam kehidupan dunia pendidikan juga demikian. Sekolah-sekolah Muhammadiyah di Indonesia Timur sekarang banyak mendidik siswa-siswi non-Muslim, mungkin ada yang memakai kalung Salib di dadanya. Nanti bilamana mereka telah menikah dan hidup berumah tangga, maka Effective History akan tetap berjalan. Si suami atau si isteri akan membawa pengaruh masa-masa lalunya di Muhammadiyah, rumah tangganya akan sedikit banyak bernuansa Muhammadiyah meskipun dari segi keyakinan agamanya tak berubah. Itulah bijaksananya pimpinan Muhammadiyah sekarang, mereka mengharuskan institusi pendidikannya mengajarkan mata pelajaran Kemuhammadiyahan di tiap-tiap sekolah, akademi dan universitas Muhammadiyah. Ini dampaknya akan luar biasa bila dilihat dari Effective History Gadamer. Bila Gadamer mengingatkan dengan Effective History, saya ikut pula mengingatkan Muhammadiyah dengan pepatah orang kampung: ‘Mengikat sapi pakai tali, Mengikat manusia pakai hati!’
Bagaimana pula dengan ceramah-ceramah agama? Ceramah-ceramah agama di masjid oleh para ustadz, di langgar atau di tempat umum akan terdengar oleh kuping kita bayang-bayang masa lalu sang penceramah, bila tak disadarinya dan kita juga tak menyadarinya, maka kita dikatakan telah mengobjektivasi kebenaran. Agar pandangan kita lebih jernih ke depannya (tidak mengobjektivasi kebenaran), maka pandangan masa lalu tersebut bukan kita buang sepenuhnya, tetapi kita ‘dialogkan’ dengan kondisi kekinian. Kita bersikap terbuka, mau menyaring ide-ide dan pemikiran baru yang kiranya akan berguna untuk hari ini dan untuk menyongsong masa depan. Tanpa menyadari keterpengaruhan Effective History akan sama saja dengan penelitian-penelitian kita di dunia akademik sekarang walaupun Scopus. Tatkala kita melakukan penelitian sosial, kita yakin bahwa hasil penelitian kita sudah objektif, terlepas sama sekali dari keterpengaruhan Effective History kita dalam meneliti, rupanya bukan. Gadamer seakan geleng-geleng kepala melihat Scopus kita. Penelitian-penelitian kita seolah-olah ‘menyembunyikan ekor ular dalam lumpur sawah, dan kita hanya mengangkat kepalanya saja”. Itulah penelitian-penelitian sosial yang telah didanai triliunan rupiah oleh Pemerintah. Maka filsafat hermeneutik itu berguna, jangan lagi dibenci.
Coba anda renungkan lebih dalam. Saya sering melihat teman-teman memajang gambar tokoh ulama besar di dinding dalam rumahnya atau dalam kamarnya. Saya kira itu sikap yang bagus, sebab kita harus menghormati jasa-jasa ulama besar, dan yang pasti ketaatan dan sikap war’-nya jauh melebihi kita umumnya. Tetapi jangan lupa kawan bahwa tokoh ulama tersebut adalah juga manusia yang dulu memiliki sifat-sifat manusiawinya: boleh jadi dia pelupa, pemarah, mudah tersinggung, atau suka guyon, perokok, ceplas ceplos bila bicara atau pernah beradu mulut dengan lawan bicaranya, mana tahu? Itu kan manusiawi. Sekarang setelah dia wafat dan fotonya dipajang oleh kita, sifat-sifat manusiawi semacam itu terlupakan (rontok bagai daun-daun pepohonan). Kita mungkin cenderung menganggapnya sebagai sosok pribadi yang ‘bersih’ terbebas dari semua sifat-sifat manusiawinya, padahal kita tak pernah jumpa dengannya dan foto tersebut kita beli pula di pasar, dipajang oleh penjual. Effective History mencoba menyadarkan kita bahwa pandangan kita atas tokoh sejarah semacam itu perlu disadari dan perlu ditinjau ulang. Pribadi yang ada dalam foto tersebut boleh jadi tidak seperti yang ada dalam bayangan otak kita. Buktinya, tatkala anda melihat uang Rp 100.000 yang ada gambar Soekarno, mungkin bagi anda gambar tersebut sekedar untuk menguatkan keyakinan anda yang selayang pandang bahwa itu adalah uang kertas Rp 100.000, tetapi bagi anak-anak alm. Hamka seakan tak terlupakan bahwa ayahnya pernah dipenjarakan oleh orang yang ada dalam uang kertas tersebut. Uang kertas tak mempengaruhi pandangan dunia ekonomi anak-anak Hamka tetapi foto Bung Karno bagi mereka punya Effective History yang mempengaruhi cara pandang mereka kepada sosok Soekarno, walaupun sekarang mungkin bagi anak-anak Hamka Effective History sudah kabur oleh nilai yang tertera pada uang kertas.
Effective History juga perlu disadari waktu menulis. Bila seorang mahasiswa (S1, S2 atau S3) mengutip pendapat seseorang dari buku, biasanya kutipan semacam itu diyakini sudah persis sama dengan pendapat orang yang dikutip. Effective History menyangkalnya. Sebab pendapat seseorang dalam buku, artikel, koran, majalah, jurnal, ensiklopedia, novel, surat pribadi diduga kuat mempunyai pertimbangan tertentu sebelum si pengarang mengatakannya atau sebelum dia menuliskannya. Pertimbangan-pertimbangan semacam itu boleh jadi tak dijelaskan dalam tulisan tetapi dialaminya. Apakah anda sering mengutip pendapat seorang Imam dalam Kitab Kuning? Sebenarnya, yang anda kutip adalah pendapatnya yang sempat ditulisnya, bagaimana dengan pendapatnya yang belum sempat ditulisnya? Belum tentu dia setuju dengan pendapat yang telah dituliskan tersebut, mungkin sudah diralatnya. Contoh, Qawlul Jadid Imam Syafi’i di Mesir berbeda dengan Qawlul Qadim di Kufah. Setuju? Itu perlu disadari kata Gadamer agar pemahaman kita semakin jernih dalam menyingkap kebenaran. Dunia akademik Barat sudah menyadari problem tersebut dan mereka menerbitkan buku tebal misalnya The Cambridge Companion to Hegel, ada kata2 embel ‘companion’. Ini menunjukkan disadarinya Sejarah Berdampak. Buku tersebut seakan menyadarkan bahwa isinya tidak murni seperti pandangan Hegel, tetapi itu adalah pandangan Hegel menurut Cambridge. Maka patut kita bertanya pula kitab Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam atau kitab Hayah Muhammad oleh Husain Haikal atau buku-buku berjudul Kh. Ahmad Dahlan karangan: Adi Nugroho, karangan Anwar Djaelani, Imron Mustofa, Sutrisno Kutoyo, Djoko Marihandono dan karangan-karangan lainnya. Perilaku kita terhadap konsep Effective History memang mirip petani yang memenggal kepala ular di sawah.
Yang paling filosofis diskusi ialah tatkala membicarakan Hadis. Bilamana seorang meriwayatkan Hadis, menurut perspektif Gadamer si Perawi juga tak bisa lepas dari Effective History. Hanya kita yg meyakini apa yg diriwayatkannya sudah objektif murni 100% sesuai dengan yang dimaksud oleh Nabi. Contoh, ada perempuan dirajam sahabat karena mengaku berzina, tetapi dia melarikan diri dan dikejar, tertangkap lagi dan akhirnya dirajam oleh sahabat hingga mati. Tatkala diceritakan hal tersebut kepad Nabi yang tinggal jauh dari lokasi itu, Nabi malah menjawab: ya kalau perempuan itu sudah tobat, biarkanlah dia hidup. Artinya Hadis yang tertulis boleh jadi sudah diralat Nabi tetapi kadang-kadang kita menganggapnya final. Di situ Effective History sang Perawi tentu ada. Mau contoh dalam Hadis yang lain? Suatu ketika Nabi diberitahu oleh seseorang bahwa ada seorang Muslim meninggal, lalu Nabi bertanya : “Apakah ada dia meninggalkan hutang?” Ya jawab seseorang. Maka Nabi berkata: “Kalian sajalah yang menyolatkannya”. Nah, apa pertimbangan Nabi sehingga dia “tidak” mau menyolatkannya? Dia tidak menjelaskannya secara eksplisit. Bila kita pahami bahwa Nabi tidak ikut menyolatkannya karena hutang, ya jelas yang dicontohkannya hutang pribadi dalam kepala kita. Bagaimana kalau Pak Harto yang meninggalkan hutang negara Indonesia sekian milyar US dollar kepada IMF? Jelas tidak ada contoh Hadis dalam hutang semacam itu. Tetapi di situ Effective History jelas terjadi. Kita seakan mereduksi Hadis Nabi terkait hutang hanya kepada transaksi pribadi. Akibatnya ajaran Islam kita batasi dalam hal terkait masalah privat. Kenapa? Ya karena ulama-ulama kita banyak berasal dari kalangan rakyat
Saya sependapat dengan anda bahwa matan Hadis terkait Nabi yang tidak mau menyolatkan mayat yang meninggalkan hutang adalah eksplisit menunjuk kepada hutang perorangan, tetapi saya juga dapat balik bertanya kepada anda apakah ada Hadis yang menyuruh batasi untuk menyolatkan mayit pada hutang privat saja? Ini Effective History (Sejarah Berdampak). Dalam Sejarah Berdampak kita memahami Hadis Nabi semacam itu menurut zaman kita yang punya kepala negara berhutang dan Nabi tidak memberikan contoh. Mungkin analisa saya ini salah, karena saya rakyat jelata, tetapi sebagai Anak Zaman (Subjectivus Geneticus) saya tidak salah karena memang saya dulu pernah punya Presiden yang berhutang kepada IMF. Saya berlindung di bawah dalil Ushul Fikih: Al’Ibrotu bi ‘umumil lafaz laa bi khushushis sabab (contoh itu berdasarkan generalisasi tekstual bukan partikular sebab). Bila anda jawab: Itu kan hutang negara, Amhar. Justru di situlah Effective History terjadi yang belum anda sadari dan saya tidak menyangkal pendapat anda. Nah sekarang pertanyaannya “Siapa di antara kita yang kagum dengan petani yang memenggal kepala ular?” Bukankah potongan ekor ular masih ada terbenam dalam sawah? Siapa diantara kita yang menerima saja kebenaran isi ceramah, isi seminar (khusus masalah mu’amalat), tanpa memperhitungkan Effective History si da’i atau si pemakalah? Siapa? Siapa?
Kesimpulan
Hermeneutika Gadamer membantu melihat persoalan pembacaan teks keislaman kita bila kita mau mendengarnya. Semua pendapat dalam Kitab Kuning sebenarnya tak lepas dari pandangan masa lalu para Imam-imam pengarang kitab tersebut, hanya kita saja yang memandang pendapat mereka objektif. Semua hasil penelitian sosial akademik anda selalu diwarnai oleh Effective History anda sendiri, mungkin anda tak sadar. Marilah kita tinjau ulang semua penelitian-penelitian sosial di jurnal Scopus, tesis dan semua disertasi, sebab anda bukan meneliti dunia fisika zero value.
Significance of Issue (Hikmah)
Clifford Geertz menjelaskan lomba sabung ayam di Bali dengan hermeneutika filosofis Gadamer kata F. Budi Hardiman. Orang Bali yang mendengarnya ada yang bilang “Kok saya tambah mengerti budaya saya ya? Demikian pula contoh-contoh empirik di atas, secara umum menampakkan bahwa Effective History itu memang sudah terjadi dalam kehidupan kita, hanya saja kurang disadari. NU dan Muhammadiyah itu sebenarnya dapat mencapai titik kesepahaman bersama, sebab keduanya sama-sama dalam satu tradisi ajaran Nabi Muhammad, hanya saja terdapat ideologi organisatoris masing-masing yang hendak dipertahankan. Kenapa ia tetap dipertahankan? Sebab itulah ‘rohnya’ masing-masing organisasi yang disuruh menyadarinya oleh filsafat, bukan masalah tidak bisa berdialog atau berinterkoneksi. Coba kita tanya kepada yang punya konsep itu sendiri Prof. Amin Abdullah: “Apakah teori Integrasi, Interkoneksi anda mampu menyadarkan Effective History Muhammadiyah dan NU?”
Sekian dulu bapak-bapak, ibu/ibu, dan adik-adik pembaca semua. Terimakasih telah membaca. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang tepat.
Tinggalkan Balasan