Arabia: Tamasya ke Sejarah Kuno (I)

Bapak-bapak/Ibu-ibu/Adik-adik dan seluruh mahasiswa pembaca setia tulisan saya tiap Jum’at di mana saja berada, baik Muslim maupun non-Muslim. Jum’at ini kita bicara tentang sejarah Arabia, tentang suku Arab, tentang sumur Zamzam dan tentang berhala-berhala di masa pra-Islam. Sumber utama rujukan saya adalah buku bagus yang berjudul MUHAMMAD (Terjemahan Qamaruddin SF yang diterbitkan oleh Serambi, Jakarta, 2017 dari buku aslinya berjudul Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, Cambridge, (copy right 1983), karangan Martin Lings yang telah mu’allaf bertukar nama menjadi Abu Bakr Sirajuddin.

Tulisan ini berguna bagi kita untuk menambah pengetahuan sejarah agar ada ‘cermin pembanding’ antara isi ceramah-ceramah di langgar/masjid dengan karya-karya sejarawan tentang Arabia Pra-Islam. Sebab isi ceramah-ceramah agama tentang Arabia klasik umumnya menekankan segi normativitas Tauhid, sementara karya sejarawan cenderung fenomenologis. Ustadz biasanya mengulang cerita Arabia setelah mendengar ceramah-ceramah sebelumnya oleh ustadz/buya lain, sementara sejarawan, khususnya Martin Lings, menulis sejarah berdasarkan sumber-sumber klasik, misalnya dalam referensinya saya temukan nama kitab Thabaqath Kabir oleh Ibn Sa’ad, kitab al- Maghazi oleh al-Waqidi, kitab al-Rawdh al-‘Unuf karya Suhayli dan kitab Akhbar Makkah oleh al-Azraqi, Menurut saya, ceramah oleh ustaz dan tulisan oleh sejarawan sama-sama diperlukan. Saya sangat menghormati keduanya, namun penilaian akhir oleh anda dibutuhkan. Mari kita bersama!

Dikatakan pada cover depan bahwa buku Martin Lings ini sudah dibaca berulang kali oleh Titus Burckhardt (Ibrahim Izz al-Din) tokoh intelektual Muslim mu’allaf dari Swiss, dan juga oleh Prof. Hamid Dabashi (guru Besar di Columbia University, Amerika) bahkan oleh Republika. Konferensi Sirah di Islamabad tahun 1983 juga menilainya sebagai buku terbaik, yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dunia, dan tahun 1990 Universitas Al-Azhar di Mesir juga tertarik pada buku tersebut sehingga Presiden Mesir Hoesni Mubarak menganugerahi pengarangnya dengan sebuah bintang kehormatan. Karena buku tersebut sangat tebal, diperlukan tahap-tahap penyajiannya, maka Jum’at ini saya batasi dalam beberapa hal saja khususnya sejarah awal keturunan Nabi Ibrahim, kisah sumur Zamzam dan berhala-berhala. Karena sejarah terbagi dua kata sejarawan Taufik Abdullah: Sejarah yang Terjadi (Realite) dan Sejarah yang Ditulis (Ecrire), sehingga timbul pertanyaan-pertanyaan: bagaimana pengarang menceritakan kondisi sosial, kondisi ekonomi dan suasana politik di zaman pra-Islam dalam bentuk Sejarah Ecrire? Apa yang berbeda dari narasi umumnya para Ustadz/buya/kyai dan juga berbeda dari pengetahuan kesejarahan kita selama ini? Cukup dua saja pertanyaannya karena saya takut akan terlalu panjang nanti ceritanya mengingat anda adalah orang-orang sibuk.

Pertama, berhala-berhala yang biasa kita kenal dengan nama Latta, Uzzah dan Manath itu rupanya bukan berada di sekitar Ka’bah, bukan terletak di Mekkah sebagaimana saya dengar dari guru-guru agama di bangku sekolah dan para ustadz/buya di langgar selama ini. Lalu di mana posisinya?

Dikatakan  bahwa di sekeliling Ka’bah terdapat sekitar 360 berhala, juga di rumah-rumah penduduk Mekkah sebagai penjaga rumah. Berhala adalah tempat bersujud sebelum dan setelah kembali dari perjalanan (Kata orang Minang ‘Ka pai tampak pungguang, ka pulang tampak muko’). Anehnya, di zaman Abdul Mutholib juga diperkenankan orang Kristen memajang gambar Marya dan Kristus di dinding Kabah (p. 22). Orang Nasrani (Kristen) dan Yahudi sudah banyak jumlahnya, hidup berdampingan dengan Arab di Mekkah dengan keyakinan agama mereka masing-masing. Yahudi banyak yang kaya raya, system keturunannya Matriarchal (p. 9) (orang Minang juga).

Dikatakan juga pada halaman 14, ada dua berhala bernama Isaf dan Na’ilah yang sangat dihormati di Mekkah, dikatakan bahwa keduanya dulu dipercayai sebagai Ibu Bapaknya kaum Jurhum yang telah berobah menjadi batu. Selain keduanya dikenal juga nama berhala Moabit dan Hubal sebagai personifikasi barakah kata Lings. Berhala Hubal tidak lebih baik dari pada anak sapi emas Bani Israel (p 21). Berhala Hubal itulah ‘komandan’ seluruh berhala-berhala di Bakkah yang ditempatkan di dalam Ka’bah (p. 6-7).

Abdul Mutholib, kakek Nabi Muhammad, tidak menyembah Hubal (p. 19), dia dikatakan oleh Lings menyembah Allah, tetapi juga memuja Manaath di Qudayd di Laut Merah (sekitar 70 km dari Mekkah sekarang), dan suku Quraysh umumnya memuja ‘Uzzah yang terletak di lembah Nakhlah (sehari perjalanan onta ke selatan dari Mekkah p, 19), sementara Latta adalah berhala yang terletak di Thaif (daerah dingin sekitar 90 km sebelah Timur Mekkah). Dikatakan juga tidak semua orang Mekkah menyembah berhala, masih ada juga yang ikut agama Nabi Ibrahim yang hanif (murni) di antaranya Waraqah (p.21).  Orang2 Kristen dulu datang ke Ka’bah untuk memberi penghormatan kepada maqam Ibrahim. (Ingat kata maqam di sini  bukanlah kuburan). 

Kedua, Sumur Zamzam punya sejarah suci yang tertera dalam Kitab-kitab agama Samawi tetapi kemudian menjadi sumber ekonomi dan komoditas politik. Penguasaan atas sumur Zamzam dulunya berada di tangan suku Jurhum yang datang dari Yaman (p. 6).  Keluarga Nabi Ibrahim menyetujui mereka sebagai penguasa Zamzam karena isteri kedua Nabi Ismail berasal dari suku Jurhum (p.6). Suku Jurhum ini kemudian bertindak sewenang-wenang akhirnya mereka diusir penduduk dari Bakkah. Akibatnya sumur Zamzam ditimbunnya hingga hilang karena di dalamnya dikuburkan harta karun hasil sumbangan Jemaah yang ziarah ke Ka’bah (p.6). Kapan sumur Zamzam kembali ditemukan? Kata Martin Lings, Kakek Nabi Muhammad Abdul Mutholib dulu sering tidur menghampar tikar dekat Ka’bah, datanglah sosok bayangan menghampirinya dan berkata (hingga 3 malam berturut-turut) : Galilah Keberuntungan!”. Setelah malam ke 4 baru perintah itu dikerjakannya dan sumur Zamzampun digali. Ketika Abdul Mutholib dan anaknya Harits menggalinya tiba-tiba terbentur peti batu dan di dalamnya harta karun tersembunyi yang di sembunyikan oleh kaum Jurhum dulu. 

Diceritakan oleh Marting Lings kisah Sumur Zamzam bermula dari kisah isteri Nabi Ibrahim bernama Sarah yang melahirkan putera bernama Ishaq (p. 2).  Ibu kandung Nabi Ismail bukan Sarah tetapi Hajar (budak dari Mesir). Ismail artinya ‘Tuhan telah mendengar’ (p. 1).

Pernikahan Nabi Ibrahim dengan Hajar memang direstui oleh Sarah walaupun akhirnya Sarah cemburu pada Hajar lalu diusirnya tetapi kata Lings pernikahan tersebut direstui oleh Allah (p.2).  Hajar dengan putranya Ismail lalu pergi menuju ke selatan negeri Kanaan, berangkat berdua beranak ikut rombongan Kafilah, sekitar 40 hari perjalanan onta menuju ke selatan ke lembah Bakkah (p.2). Bakkah inilah yang kemudian bernama Mekkah. Sesampai di Bakkah, Hajar dikatakan dibimbing langit untuk berpisah dengan kafilahnya. Kata ‘dibimbing langit’ pengganti kata dibimbing Tuhan oleh Lings. Suatu ketika, si ibu dan puteranya merasa kehausan, sang bayi menangis tergeletak dia atas pasir, sementara si ibu berdiri di atas bebatuan, kakinya berjingkrak, memandang kiri-kanan mencari air, hampir putus asa, Hajar bolak-balik berjalan 7x, setelah lelah Hajar duduk istirahat dekat sebuah batu dan Malaikat mendekatinya lalu menyuruh gendong bayinya, maka terbitlah mata air (sesuai juga dengan isi Kitab Kejadian/Genesis 21 (17-20). 75 tahun setelah kejadian Zamzam itu, kata Lings, Nabi Ibrahim masih hidup dan sempat kembali mencari Hajar dan Ismail dari Hebron (di utara) dan mereka bertemu di Bakkah (p.4) (jauh di selatan). (Romantis juga kisahnya).  Mata air Zamzam itu keluar setelah disentuh oleh tumit Ismail, sehingga lama kelamaan di sekitar Zamzam menjadi kampung.

Di Bakkah, Nabi Ibrahim lalu membangun Ka’bah, tetapi yang paling suci di sana kata Lings adalah Hajar Aswad yang didatangkan Malaikat Jibril dari suatu tempat dekat Abu Qubaysh’. ‘Yang menarik data sejarahnya mengatakan :”Ketika turun dari sorga, batu itu lebih putih dari susu, tetapi dosa-dosa anak Adam telah membuatnya hitam’ (p.4). Ibadah Sa’i (lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa) menurut Lings berasal dari ajaran Nabi Ibrahim sebagai ritus haji, tetapi ini berkat pengaduan Hajar kepada Nabi Ibrahim mengenai kisahnya dalam perjalanan bersama kafilah setelah diusir oleh Sarah (Ibu Nabi Ishaq). Nampaknya dari kisah Marting Lings, Nabi Ibrahim dari Bakkah kemudian pulang lagi ke Hebron (di utara) dan meninggal di sana. Lalu kenapa di dekat Ka’bah ada Maqam Ibrahim? Di sini, sejauh pengetahuan saya, kata Maqam bukan berarti makam (kuburan): itu bukan kuburan Nabi Ibrahim. Tatkala Nabi Ibrahim wafat di Hebron, kedua putranya Ismail dan Ishaq dikatakan sempat hadir pada pemakaman ayah mereka (p.2-3). Ayah mereka tentunya juga Nabi dari warga Muhammadiyah dan warga NU tetapi sejarah tidak mencatat  adanya acara Yasinan/Tahlilan Kematian baginya.

Bagaimana Marting Lings mempercayai akurasi data kitab-kitab agama sebagai data reliable? Sejarah Nabi Muhammad, kata ahli sejarah, adalah sejarah di masa terang benderang: ada bukti kuburan Nabi, ada bukti-bukti sejarah yang memperkuat dari negara-negara tetangga seperti Romawi dan Persia, ada juga bukti-bukti artefak lain yang semuanya dapat diverifikasi secara ilmiah. Tetapi sejarah para Nabi sebelum Muhammad dikatakan masih kabur, samar, tak jelas, hanya Kitab-kitab Suci yang banyak menceritakannya. Dalam Kitab Suci ‘aqidah (keyakinan) bercampur aduk dengan data empirik. Sementara stressing (penekanan) Kitab Suci lebih kepada Iman (Keesaan Allah), sedangkan data empiric menekankan kebenaran (truth) di atas data yang verified. Ustadz dan penceramah kadangkala kurang menyadari perbedaan data empiric dan tendensi ‘aqidah di dalam Kitab Suci sehingga semua ceritanya dianggap 100% shahih. Shahih di dada (‘aqidah) berbeda dengan shahih di kepala (rational). Dunia akademik lebih cenderung kepada shahih rational dan empiric (korespondensi) karena salah satu sebabnya ialah karena pengaruh metodologi sains yang positivistik di Barat.

Terakhir, apa yang berbeda dari narasi sejarah para ustadz di berbagai ceramah keagamaan dan dari pelajaran sejarah oleh guru-guru saya di bangku sekolah dulu? Pertama, nampak Martin Lings mendamaikan antara Yahudi, Kristen dan Islam dengan menyebutkan asal muasal yang sama dari negeri Palestina (Hebron) ke Arabia, keturunan yang sama dari Nabi Ibrahim yang punya dua putera Ishaq dan Ismail. Lings juga mengambil rujukan dari Kitab Kejadian (Genesis) dan bersesuaian isinya dengan isi kitab suci al-Qur’an. Dia memilih dan memilah referensi demi mencari titik temu. Keturunan Ishaq menjadi umat Yahudi dan umat Nasrani dari mana Nabi Musa dan Nabi Isa berasal, dan keturunan Ismail menjadi bangsa bangsa Arab dari mana Nabi Muhammad berasal. Kedua, ceramah-ceramah agama di langgar, masjid biasanya lebih bertujuan untuk memperkuat iman, aqidah dalam dada, demikian pula dalam  Kebaktian di Gereja-gereja. Ia bersifat normative. Cerita berhala-berhala di sekitar Mekkah, cerita Nabi Ibrahim dan Ismail ditarik oleh penceramah untuk memperkuat bobot aqidah kita. Sementara kisah sejarah di atas oleh Martin Lings secara umum nampak mengobjektivasi kebenaran, sesuatu yang dianggap lemah oleh Gadamer, sebab posisi Martin Lings sebagai anak zaman tidak diperhitungkannya. Historiografi Marting Lings cenderung positivistic ala metode sains sebagai pengaruh filsafat Immanuel Kant bahkan sumber referensinya tidak dipisah jelas dalam menyebutkan mana data yang verified dan unverified. Ibarat mata air yang menyembur dari dalam tanah yang masih bercampur antara air yang jernih dan air yang keruh, data yang digunakan oleh Marting Lings masih bercampur aduk sehingga menuntut kejelian intelektualitas adik-adik kawula muda yang arus pandai melihat sumber data sejarah dengan kritis. Ini penting agar kuliah di depan kelas tidak sama nadanya dengan ceramah di langar-langgar.

Kesimpulan

Ternyata dua silsilah keturunan telah melahirkan bangsa-bagian besar di dunia. Sarah melahirkan Ishaq: Nenek moyang bangsa Yahudi Israel, bangsa yang anda benci saat ini. Sementara Hajar (isteri kedua Nabi Ibrahim asal budak dari Mesir) adalah ibu kandung Nabi Ismail: nenek moyang bangsa Arab, nenek moyang Nabi Muhammad yang kita sayangi kini. Adapun kemunculan sumur Zamzam bersifat ‘mukjizat’(karena hentakan tumit bayi Ismail) bukan karena factor alam. Maka data sejarah oleh Marting Lings bercampur aduk antara normative dan empiric.  Di situlah salah satu bedanya metode Martin Lings dengan orientalis non-Muslim lainnya. Namun bagi saya Martinn Lings nampak masih Kantianisme. Bila adik-adik dosen muda bercerita sejarah Islam di depan kelas cobalah bedakan dengan cara berceramah di langgar/masjid, sebagai konsekwensi logis saat menceritakan zaman pra-sejarah. Sekian.

Significance of Issue (Hikmah)

Jadi perang Arab Israel, di mata sejarah, sebenarnya perang antara sesama anak cucu Nabi Ibrahim yang beristeri Sarah dan Hajar: Sarah melahirkan keturunan Nabi Ishaq, Yahudidan bangsa Israel. Sementara Hajar melahirkan keturunan Nabi Ismail, Nabi Muhammad….dan bangsa-bangsa Arab: Palestina, Saudi, Mesir, Libya, Syria, Yordania, Tunis, Aljazair, Marokko, Libanon, Yaman, Iraq, Qatar, Kuwait, dan lainnya (Ini bila sejarah Ecrire yang diterima). Di mata politik internasional, perang Arab-Israel adalah perang untuk merebut kembali tanah leluhur bangsa Yahudi karena exodus (ini bagi Zionis) namun ia juga untuk mempertahankan tanah leluhur nenek moyang bangsa Palestina (Ini sejarah realite tentang perang antar keturunan Nabi Ibrahim). Motif yang kuat di balik campur tangan Amerika, Inggeris dan Perancis karena adanya di Arab sumur minyak, karena motif ekonomi, bukan karena orang Arab sebagai keturunan Ismail dan Israel keturunan Nabi Ishaq. Cobalah lihat pergeseran pemaknaan itu dari sejarah Ecrire ke sejarah Realite. Anehnya emosi gejolak demonstran akhir-akhir ini di Indonesia yang Pro Palestina khususnya disebabkan oleh Sejarah Realite bukan karena Sejarah Ecrire. Seandainya Tuhan menghidupkan kembali Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq dan Nabi Ismail, ketiganya akan bertanya kepada anda yang sedang demo anti Zionis membawa spanduk:” Kenapa KFC, Coca Cola yang anda boikot?”. Sumbu masalahnya bukan di situ! Memang tragis nasib cucu Nabi Ismail di Palestina kini, namun kita juga harus ingat ayat al-Qur’an ‘wa yasfikud dima’ (pertumpahan darah). Dalam Surah al-Baqarah 30 di situ telah ada signal bahwa keturunan Adam di bumi memang akan bertumpah darah sesamanya dan Malaikat sudah mengingatkan Tuhan di Sorga akan hal tersebut. Terimakasih sudah membaca tulisan di atas. Jum’at depan insyaallah terbit bagian II.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *