Menggagas Pendidikan Berbasis Ruh: Review Kritis terhadap Konsep Ruhiology Quotient

Tulisan ini berupaya mereview artikel ilmiah yang ditulis oleh Iskandar dkk berjudul “Ruhiology Quotient (RQ) a Bid Concept of National
Education Faces the Industrial Revolution Era 4.0″. Artikel tersebut mengusulkan suatu konsep kecerdasan baru yang disebut Ruhiology Quotient (RQ) sebagai tawaran alternatif untuk mengatasi krisis moral dan multidimensional yang dihadapi oleh sistem pendidikan nasional Indonesia, khususnya dalam konteks Revolusi Industri 4.0. Konsep ini berangkat dari kegelisahan terhadap kemajuan teknologi yang di satu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, namun di sisi lain juga menjadi pintu masuk terhadap berbagai penyimpangan moral seperti pornografi, penyalahgunaan narkoba, kejahatan siber, kekerasan remaja, hingga krisis identitas spiritual. Dalam konteks tersebut, RQ diposisikan sebagai jenis kecerdasan terdalam dan tertinggi yang dimiliki manusia, yakni kecerdasan ruhaniah yang bersumber dari ruh yang ditiupkan oleh Tuhan sejak awal penciptaan manusia.

Secara garis besar, penulis menyampaikan bahwa konsep kecerdasan konvensional yang banyak digunakan dalam sistem pendidikan saat ini seperti IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan bahkan SQ (Spiritual Quotient) masih belum cukup untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia dan mampu menahan diri dari penyimpangan moral di era digital. Hal ini terbukti dengan banyaknya pelaku kejahatan atau tindakan amoral yang justru berasal dari kalangan terdidik dan religius secara ritual, namun belum tersentuh secara spiritual. Dalam hal ini, RQ hadir sebagai kecerdasan yang mampu mendeteksi potensi penyimpangan (kekafiran) maupun keimanan dalam diri manusia, bahkan sebelum tindakan itu diwujudkan secara nyata, yaitu melalui suara hati (conscience) atau intuisi ruhaniah yang disebut penulis sebagai “God spot“.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dengan metode studi pustaka. Penulis mengkaji sejumlah literatur ilmiah, termasuk ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, untuk memperkuat argumen bahwa kecerdasan ruhaniah merupakan instrumen paling penting dalam proses pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Salah satu dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam tulisan ini adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 3 yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia. Menurut penulis, tujuan ini tidak dapat tercapai jika pendidikan hanya berorientasi pada aspek kognitif dan psikomotorik semata, tanpa menyentuh aspek ruhani yang lebih mendalam.

Lebih lanjut, penulis memetakan bahwa akar dari krisis moral dan penyimpangan perilaku yang terjadi saat ini terletak pada keterputusan manusia dari sumber penciptaannya, yaitu Tuhan. Manusia modern telah banyak mengalami keterasingan eksistensial terpisah dari fitrahnya sebagai makhluk spiritual. Oleh karena itu, perlu dilakukan reposisi pendidikan agar kembali menyentuh aspek spiritualitas yang otentik, bukan sekadar ritual formalitas agama. Dalam konteks inilah, RQ dipandang sebagai konsep kecerdasan yang mampu menjembatani kesadaran individu terhadap keberadaan Tuhan dan mendorong lahirnya tindakan moral yang berbasis pada nilai-nilai ilahiah.

Menariknya, artikel ini juga menunjukkan bahwa kecerdasan ruhaniah tidak hanya bersifat abstrak atau metafisis, tetapi memiliki dampak konkret terhadap perilaku seseorang. Penulis menjelaskan bahwa ketika seseorang memiliki RQ yang tinggi, ia akan mampu mendeteksi bisikan batin terhadap potensi kemaksiatan dan secara sadar menghindarinya. RQ bertindak sebagai radar moral internal yang bekerja sebelum akal atau fisik merespons. Oleh karena itu, latihan ruhaniah seperti salat yang khusyuk dipandang sebagai sarana efektif dalam mengasah sensitivitas RQ ini. Ketika hati dan ruh terhubung secara vertikal kepada Tuhan melalui ibadah yang khusyuk, maka potensi penyimpangan bisa dicegah sejak dini.

Secara teoretis, artikel ini membedakan dua potensi utama dalam diri manusia, yakni potensi kekafiran (jahat) dan keimanan (baik). Kedua potensi ini dapat dikenali melalui rasa, intuisi, dan getaran ruhani yang muncul sebagai respons terhadap kondisi tertentu. Penulis menekankan pentingnya mengenali dan melatih potensi ruhani ini sejak dini, terutama melalui pendidikan yang menekankan dimensi ruhiyah. RQ dalam pandangan penulis tidak dapat dibentuk secara instan, melainkan melalui proses pembinaan yang terstruktur, berkelanjutan, dan bersumber dari ajaran ilahiah, terutama al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.

Kelebihan utama dari artikel ini adalah keberaniannya menawarkan konsep alternatif terhadap pendekatan kecerdasan konvensional yang dominan dalam dunia pendidikan. Dengan mendasarkan argumennya pada kerangka spiritual Islam, artikel ini mengajak para pendidik dan pembuat kebijakan untuk merefleksikan kembali paradigma pendidikan yang selama ini terlalu fokus pada aspek rasional dan teknologis. Artikel ini secara tidak langsung juga menjadi kritik terhadap model pendidikan modern yang gagal menumbuhkan kesadaran spiritual dan moral peserta didik, padahal justru aspek inilah yang menjadi inti dari pendidikan dalam perspektif Islam.

Namun demikian, artikel ini juga memiliki beberapa kelemahan. Pertama, meskipun penulis telah menjelaskan konsep RQ secara mendalam, namun belum terdapat operasionalisasi yang jelas dan sistematis terkait bagaimana RQ dapat diterapkan dalam kurikulum pendidikan nasional secara praktis. Kedua, metode penelitian yang digunakan masih bersifat teoretis dan belum didukung dengan data empiris atau studi lapangan yang dapat menguatkan validitas dari konsep yang ditawarkan. Ketiga, beberapa bagian dari artikel cenderung bersifat normatif dan apologetik, sehingga pembaca kritis dari kalangan akademisi non-agama mungkin memerlukan argumen yang lebih rasional dan interdisipliner.

Secara keseluruhan, artikel ini memberikan kontribusi penting dalam wacana pengembangan pendidikan nasional berbasis nilai-nilai spiritual. Konsep Ruhiology Quotient (RQ) yang ditawarkan menjadi sebuah alternatif menarik di tengah krisis moral yang melanda generasi muda di era Revolusi Industri 4.0. Dengan mengedepankan pendekatan ruhaniah yang berbasis pada kesadaran akan keberadaan Tuhan dan pentingnya konektivitas spiritual, penulis berupaya memberikan jawaban terhadap kegagalan sistem pendidikan modern dalam membentuk manusia seutuhnya yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan emosional, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan integritas moral.

Penutup dari artikel ini mengajak para pembaca, khususnya para pendidik, untuk menyadari bahwa pendidikan sejatinya tidak hanya mencetak lulusan yang siap kerja, tetapi juga manusia yang utuh, sadar akan dirinya, Tuhan, dan lingkungannya. Dalam dunia yang semakin digital dan materialistik, keberadaan konsep seperti RQ sangat dibutuhkan agar manusia tidak tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya yang hakiki. Artikel ini patut diapresiasi sebagai bagian dari ikhtiar akademik untuk mengembalikan roh pendidikan kepada substansi utamanya, yaitu membentuk insan berakhlak mulia, beriman, dan bertakwa melalui pendekatan yang bersifat transendental.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *