Musuh Agama adalah Agama

Sebelum saya membawa teman-teman berdiskusi lebih jauh mengenai “musuh agama”, saya akan mempertegas terlebih dahulu apa yang akan kita diskusikan dalam waktu yang demikian singkat ini. Agama vs agama adalah pergolakan manusia dalam kesehariannya dengan berbagai kekuatan baik yang dilandaskan oleh agama atau dilandaskan oleh otoritarianisme agama (agamawan).

Ketika kita berbicara mengenai agama tidak mungkin pula melepaskan pembicaraan ketuhanan (Muhsin Qiraati: 2004), karena Tuhan merupakan tonggak yang paling utama dalam agama. Bahkan menurutnya, perihal ketuhanan pada hakikatnya melampaui batas-batas agama, bahkan sebagian ahli mengatakan bahwa ketuhanan bukanlah bagian dari agama.

Pendapat di atas absah, karena dia menggunakan deduktif, menggunakan skema konsep besar (premis mayor) yang akan diturunkan menjadi konsep kecil sehingga membentuk produk-produknya (agama-agama). Dan pada kesempatan ini kita pun juga turut menggunakan nalar ini sebagai satu-kesatuan antara nilai dan konsep universal yang berlaku dalam agama.

Dalam tradisi Islam, manusia dikenal sebagai makhluk yang memiliki fitrah bertuhan. Hal inilah yang menjadi sandaran ketika saya menarik teman-teman untuk ikut memikirkan kembali dalam perjalanan sejarah manusia. Selain itu saya berangkat dari tesis Ali Syari’ati dalam kuliahnya mengajukan tesis “sepanjang sejarah, agama telah berjuang melawan agama” (Ali Syari’ati: 1994).

Islam, Nasrani maupun Yahudi dikenal sebagai agama monoteisme yakni yang menganut pemahaman atau kepercayaan bahwa Tuhan Esa, agama Ibrahim adalah agama benar, yang terus sepanjang masa memperjuangkan keesaan Tuhan dan berlawanan dengan agama yang menolak akan keesaannya. Dari keyakinan sekalipun manusia tidak akan berhenti berkonfrontasi dengan agama.

Dalam sejarah agama, kita bisa meneliti bagaimana peranan agama secara fungsional menjadi sangat penting melalui nabi-nabi yang menjadi pilihan Tuhan pada saat itu. Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Nabi tidak hanya berfungsi menyeru pada keesaan Tuhan, tapi nabi melalui agama juga berfungsi sebagai alat untuk memprotes nilai-nilai maupun kebijakan masyarakat yang mendominasi.

Pada fungsi yang terakhir inilah Ali Syariat menyebutkan bahwa kaum intelektual harus mampu menjadi nabi-nabi sosial (Ali Syari’ati: 1989). Agamawan, intelektual mampu menjadi pelerai hubungan yang berjarak antara masyarakat awam dengan para elit (akademisi, elit agama, sosial dan politik). Dari kedua fungsi tersebutlah Nabi maupun masyarakat yang didominasi melakukan konfrontasi terhadap berhala-berhala yang berada dalam ranah psikologis, sosial maupun politik.

Saya tidak akan menyinggung arena psikologis karena berhala yang ada dalam hal ini hanya diri sendiri (setiap individu) yang memperlemah keimanan, dan tanggung jawab sosial lainnya. sedangkan dalam aspek sosiol dan politik sebenarnya sangatlah kompleks. Namun untuk mempermudah kita mengidentifikasi dalam hal yang direpresentasikan oleh kekuatan penguasa, agamawan, benar atau salah, ateisme (kufr), multiteisme (syirik) dan paganism (penyembah berhala)yang secara langsung bertentangan dengan fungsi kenabian dalam aspek teologis.

Hal di atas mendapatkan perhatian yang sangat besar, karena perhatian utama lebih ditekankan pada kekuasaan dan kemenangan yang bersifat sementara, daripada penekanan pada prinsip-prinsip maupun nilai-nilai kemanusiaan (Laleh Bakhtiar: 1988).

Maka di sini akan terlihat bagaimana tanggung jawab sosial bisa terus diperjuangkan dan diterapkan tanpa harus memandang kelas sosial, kelas pendidikan maupun kelas pengalaman. Tanggung jawab di sini juga dimaksudkan persis term yang sangat akrab dengan agama-agama pada umumnya, dalam bahasa Arab ‘amar ma’ruf nahi munkar.

Selain, keesaan Tuhan, nilai-nilai kemanisaan menjadi tolak ukur dalam melakukan perlawanan yang berhadapan dengan keduanya. Tanpa harus memandang dia sebagai penguasa, tokoh agama, ataupun penikmat agama (yang memanfaatkan agama sebagai legitimasi). Tesis di atas diambil dari sejarah agama monoteis yang sangat memusuhi gerakan-gerakan status quo, pemerasan, penindasan, perbudakan, dan penghinaan.

Maka kesimpulan sederhananya, kita harus meyakini bahwa Wahyu (teks) yang terakhir adalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tetapi fungsi Nabi (menyerupai kenabian) baik yang memperjuangkan teologis maupun nilai-nilai manusia akan terus hidup sepanjang zaman.

Tulisan ini adalah pengantar diskusi dengan pembaca. Tentu sangat dibutuhkan komentar dan tanggapan terkhusus dalam tulisan untuk memperpanjang pertemuan-pertemuan dan pertukaran ide di antara kita semua.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *