Di tengah keberagaman suku, agama, ras, dan budaya, Indonesia membutuhkan cara pandang yang adil dan inklusif dalam beragama. Moderasi beragama hadir sebagai solusi untuk menjaga harmoni sosial dan mencegah ekstremisme.
Indonesia terkenal dengan berbagai macam budaya yang ada dan berbagai macam adat istiadat yang berbeda tentu akan sangat memungkinkan terdapat perbedaan yang sangat lumrah baik itu dari segi kepercayaan maupun kebiasaan dari Masyarakat atau suku setempat.
Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang mengedepankan keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), keadilan (adil), dan anti kekerasan.
Dalam hal perlu kita sadari bahwa toleransi adalah harga yang sangat mahal untuk di terapkan di Tengah Masyarakat agar kehidupan berjalan aman damai dan bagaimana semestinya, untuk penguatan akan hal itu perlu kita pegang teguh nilai moderasi beragama sebagai berikut sebagai landasan atau pedoman kita :
- Komitmen Kebangsaan. Menempatkan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 sebagai kesepakatan bersama.
- Toleransi. Menghargai perbedaan dan tidak memaksakan kebenaran tunggal.
- Anti-Kekerasan. Menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama.
- Akomodatif terhadap budaya lokal. Menghargai kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama secara adil, seimbang, dan tidak ekstrem dalam menghadapi perbedaan. Moderasi ini tidak berarti mencampuradukkan ajaran agama, tapi beragama secara damai, toleran, dan menghargai keberagaman, baik di antara sesama umat beragama maupun antaragama.
“Moderasi bukan berarti mencairkan keyakinan, tapi menjunjung etika dalam keberagaman”
(Dr. H. Muhammad Ali, tokoh agama dan dosen UIN Syahid Jakarta)
Tujuan Penting dari moderasi beragama adalah Mencegah ekstremisme dan kekerasan atas nama agama. Menjaga kerukunan antarumat beragama. Mewujudkan kehidupan beragama yang damai, saling menghormati, dan bermartabat. Memperkuat kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedangkan ciri ciri moderasi beragama adalah awassuth (tengah-tengah): Tidak berlebihan (ekstrem) dalam memahami dan menjalankan agama. Tasamuh (toleransi): Menghormati perbedaan, baik dalam keyakinan maupun praktik keagamaan. Tawazun (seimbang): Seimbang antara kepentingan pribadi, agama, dan masyarakat. I’tidal (adil): Bersikap adil kepada siapa pun, tanpa memandang latar belakang
Menurut Profesor Kmarudin Dirjen binmas Islam Moderasi beragama adalah jalan tengah yang memperkuat agama sebagai sumber kedamaian, bukan perpecahan. Ini adalah bagian dari upaya menjaga keutuhan bangsa dan menciptakan kehidupan sosial yang harmonis di tengah masyarakat yang majemuk.
Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan prilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini, dari dulu hingga sekarang.Pemerintah pun menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu program nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Dalam konteks aqidah dan hubungan antar umat beragama, moderasi beragama (MB) adalah meyakini kebenaran agama sendiri “secara radikal” dan menghargai, menghormati penganut agama lain yang meyakini agama mereka, tanpa harus membenarkannya. Moderasi Beragama sama sekali bukan pendangkalan akidah, sebagaimana dimispersepsi oleh sebagian orang.
Moderasi Beragama sangat banyak bertentangan dengan politik identitas dan populisme. Sebab, di samping bertentangan dengan ajaran dasar dan ide moral atau the ultimate goal beragama, yakni mewujudkan kemaslahatan, juga sangat berbahaya untuk konteks Indonesia yang majemuk. Dalam konteks intra umat beragama, Moderasi Beragama tidak menambah dan mengurangi ajaran agama, saling menghormati dan menghargai jika terjadi perbedaan (apalagi di ruang publik) dengan tetap mengacu pada kaedah-kaedah ilmiah. Tidak boleh atas nama moderasi beragama, semua boleh berpendapat dan berbicara sebebasnya, tanpa menjaga kaedah-kaedah ilmiah dan tanpa memiliki latar belakang dan pengetahuan yang memadai.
Cara beragama moderat seperti inilah yang selama ini menjaga kebhinekaan dan keindonesiaan kita. Lalu mengapa pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama menjadikannya sebagai program prioritas, jika dari dalu hingga sekarang sebagian besar penduduk negri ini sudah moderat? Ada beberapa dinamika dan fakta sosiologis yang mendasarinya.
Kemajuan tehnologi informasi dan globalisasi telah menciptakan realitas baru, baik positif maupun negatif, dan mendisrupsi berbagai aspek kehidupan kita, termasuk kehidupan beragama. Dunia digital telah menembus ruang-ruang privasi umat beragama. Berbagai faham agama mulai dari yang paling kanan (ultra konservatif) sampai yang paling kiri (liberal), bahkan sampai yang ekstrem radikal dapat diakses secara borderless oleh siapapun. Hal ini memungkinkan terjadinya proses transmisi paham keagamaan dari berbagai penjuru dengan bebas, tanpa filter yang di samping membawa manfaat, juga berpotensi merusak paham keagamaan moderat yang selama ini menjadi perekat sosial dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Sejumlah praktik intoleran dapat ditemui dalam kehidupan beragama di Indonesia. Misalnya, penolakan kehadiran umat beragama lain di daerah tertentu karena merasa mayoritas, penolakan pendirian rumah ibadah, penolakan tradisi adat oleh kelompok kelompok umat. Contoh yang lain adalah munculnya politik identitas setiap menjelang pesta demokrasi sampai munculnya kelompok berideologi transnasionalisme.
Selanjutnya, dalam dunia digital dan media sosial, muncul sejumlah aktor keagamaan baru yang tidak berbasis massa ormas keagamaan dan tidak mengakar yang berpotensi mengabaikan tradisi yang selama ini berkontribusi penting dalam meningkatkan literasi keagamaan dan juga merekatkan kehidupan keagamaan. Disamping itu, dominasi narasi konservatisme agama di media sosial akan mentransmisi paham keagamaan konservatif kepada generasi milenial dan gen Z yang identik dengan dunia digital. Bahkan, tidak jarang penyelenggara negara secara tidak sadar atau kurang pengetahuan melakukan praktik-praktik intoleransi dengan membuat kebijakan perspektif mayoritarianisme dan melupakan perlindungan hak konstitusi warga dengan tidak menfasilitasi umat beragama untuk menjalankan agamanya.
Sebagai pribadi yang memegang teduh akan aturan agama sepatutnya lah kita Bersama sama membumikan moderasi beragama agar tercapai ketenangan dan kenyaman dalam bermasyarakat serta social yang lebih baik lagi.
*Opini ini untuk memenuhi tugas Program Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Tahun 2025
Tinggalkan Balasan