Menangkal Intoleransi, Meneguhkan Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang paling mendasar. Ia melekat dalam martabat setiap individu tanpa memandang latar belakang suku, ras, status sosial, atau afiliasi politik. Dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi, tepatnya dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 UUD 1945. Namun, realitas sosial tidak selalu sejalan dengan semangat konstitusi. Di berbagai tempat, kita masih menyaksikan praktik-praktik intoleransi yang merenggut hak individu atau kelompok untuk menjalankan ajaran agamanya secara damai. Inilah ironi besar: negara yang dibangun atas dasar keberagaman justru masih harus berjuang keras menjaga ruang aman bagi kebebasan beragama.

Intoleransi bukan sekadar penolakan terhadap keyakinan orang lain, melainkan sikap yang bisa berkembang menjadi tindakan diskriminatif, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi. Dalam banyak kasus, intoleransi beragama tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi tumbuh dari bibit-bibit ketidaktahuan, stereotip, fanatisme sempit, dan lemahnya pendidikan multikultural. Ketika satu agama atau aliran dianggap lebih “benar” dan berhak mendominasi ruang publik, maka benih diskriminasi mulai tumbuh. Ketika seseorang merasa punya hak untuk menilai ibadah orang lain, atau bahkan melarangnya, maka nilai-nilai toleransi dan kebebasan mulai runtuh.

Menangkal intoleransi berarti membangun kesadaran kolektif bahwa perbedaan iman bukan ancaman, melainkan kenyataan hidup yang harus diterima dan dihormati. Indonesia adalah bangsa yang secara kodrati lahir dalam keberagaman. Dengan lebih dari 6 agama resmi, ratusan aliran kepercayaan, dan ribuan budaya lokal, bangsa ini tidak akan bisa berdiri tegak tanpa toleransi yang kokoh. Namun toleransi bukan sesuatu yang otomatis lahir dalam diri setiap individu. Ia perlu ditanamkan sejak dini, dipupuk dalam lingkungan keluarga, sekolah, media, dan komunitas. Toleransi adalah hasil dari pendidikan, pengalaman hidup bersama, dan keteladanan dari para pemimpin.

Salah satu cara efektif untuk menangkal intoleransi adalah melalui pendidikan yang inklusif dan berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih minim dalam membangun kesadaran keberagaman secara mendalam. Buku-buku pelajaran sering kali membahas agama dan moral secara normatif, tanpa mendorong siswa untuk memahami perbedaan sebagai kekayaan. Diskusi antariman jarang difasilitasi, dan ruang-ruang kelas tidak selalu aman untuk mereka yang berbeda. Pendidikan seharusnya tidak hanya menekankan hafalan dogma, tetapi mengajarkan empati, dialog, dan saling pengertian antarumat beragama.

Media sosial juga memainkan peran besar dalam membentuk opini publik tentang keberagaman. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat untuk menyebarkan pesan perdamaian dan toleransi. Namun di sisi lain, ia juga menjadi tempat subur bagi penyebaran kebencian berbasis agama. Ujaran kebencian, fitnah terhadap kelompok minoritas, hingga provokasi sektarian mudah sekali viral jika tidak dikontrol. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki literasi digital yang kuat, agar tidak mudah termakan oleh narasi-narasi intoleran yang menyesatkan. Pemerintah dan platform digital juga perlu bekerja sama dalam menindak tegas konten-konten yang mengarah pada diskriminasi dan kekerasan atas nama agama.

Namun, intoleransi tidak hanya terjadi di dunia maya. Di dunia nyata, kita masih sering menyaksikan penutupan rumah ibadah, pelarangan ibadah kelompok minoritas, penolakan terhadap pendirian gereja, vihara, atau masjid tertentu, bahkan pengusiran warga dari komunitas karena berbeda keyakinan. Semua ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama belum benar-benar menjiwai praktik sosial kita. Kebebasan beragama bukan hanya tentang boleh beribadah, tetapi juga tentang perlindungan dari tekanan, ancaman, dan diskriminasi. Setiap warga negara berhak menjalankan agamanya tanpa takut dicurigai, disudutkan, atau dibatasi oleh pihak lain.

Dalam menghadapi persoalan ini, negara memiliki peran penting sebagai penjamin kebebasan beragama. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok intoleran. Negara harus berdiri tegak di atas prinsip keadilan dan perlindungan hak konstitusional semua warganya. Aparat penegak hukum harus bertindak adil dan tegas terhadap pelanggaran kebebasan beragama, bukan malah membiarkan atau bahkan membenarkan tindakan diskriminatif. Pemerintah daerah juga harus aktif menciptakan ruang-ruang dialog antarumat beragama serta memberikan perlindungan yang sama bagi semua komunitas, tanpa diskriminasi.

Lebih jauh, peran tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat strategis dalam menciptakan suasana damai dan saling menghormati. Ucapan dan sikap mereka bisa menjadi panutan atau, sebaliknya, sumber perpecahan. Oleh karena itu, para pemimpin agama harus menjadi jembatan, bukan tembok pemisah. Mereka perlu terus menggaungkan pesan bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan cinta kasih, perdamaian, dan persaudaraan. Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian atau kekerasan. Justru dari keberagaman iman, kita bisa belajar saling memahami bahwa jalan menuju kebaikan itu banyak bentuknya.

Masyarakat sipil, LSM, dan komunitas lintas agama juga memiliki peran krusial. Mereka bisa menjadi garda terdepan dalam memediasi konflik, mengedukasi publik, dan membangun ruang-ruang perjumpaan yang memperkuat semangat toleransi. Dialog lintas iman, program pertukaran budaya, kegiatan sosial bersama antarumat beragama, semuanya bisa menjadi strategi jangka panjang dalam membangun harmoni sosial. Semakin banyak masyarakat yang terbiasa hidup berdampingan dalam perbedaan, semakin kuat fondasi kebebasan beragama kita.

Meneguhkan kebebasan beragama bukan hanya tentang menghindari konflik, tetapi tentang membangun peradaban yang adil dan beradab. Masyarakat yang saling menghargai iman satu sama lain adalah masyarakat yang kuat dan dewasa. Dalam konteks global yang penuh gejolak, negara-negara yang menjamin kebebasan beragama cenderung lebih stabil secara sosial dan lebih maju secara demokratis. Indonesia harus bergerak ke arah itu. Dengan menjunjung tinggi kebebasan beragama, kita bukan hanya melindungi hak-hak warga negara, tetapi juga merawat keutuhan bangsa.

Akhirnya, kebebasan beragama bukan milik satu kelompok atau agama tertentu. Ia adalah hak semua orang. Dalam ruang hidup yang majemuk seperti Indonesia, kita tidak bisa menuntut orang lain menjadi sama. Yang bisa kita lakukan adalah menjamin bahwa setiap orang memiliki ruang yang adil untuk berbeda, tanpa tekanan atau ancaman. Kita tidak harus meyakini hal yang sama untuk bisa hidup berdampingan. Cukup dengan saling menghormati dan membuka hati, kita bisa merayakan perbedaan sebagai anugerah. Menangkal intoleransi dan meneguhkan kebebasan beragama adalah tanggung jawab kita bersama, demi Indonesia yang damai, adil, dan bermartabat.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *