Iman di Jalan Damai: Kebebasan yang Menghargai

Iman adalah salah satu ekspresi terdalam dari batin manusia. Ia bukan sekadar bentuk pengakuan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi juga cermin dari cara manusia memahami hidup, menjalani nilai-nilai kebaikan, dan berinteraksi dengan sesama. Namun iman yang sejati tidak pernah tumbuh di atas paksaan, kekerasan, atau dominasi. Iman tumbuh dari kebebasan, dan kebebasan yang utuh hanya mungkin ada jika dihiasi oleh penghargaan terhadap perbedaan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan majemuk, kita perlu menegaskan kembali bahwa iman sejati harus berjalan di jalan damai, dalam kebebasan yang saling menghargai

Di banyak tempat di dunia, termasuk Indonesia, agama dan iman sering kali menjadi sumber kekuatan spiritual dan moral. Namun, tidak jarang pula ia dijadikan alat pembenaran untuk kekerasan, konflik, bahkan penindasan. Ketika iman tidak disertai oleh kedewasaan dalam beragama, ia mudah terjatuh dalam semangat fanatisme dan eksklusivisme yang berbahaya. Padahal, semua agama besar di dunia pada dasarnya mengajarkan cinta kasih, perdamaian, dan penghormatan terhadap sesama. Sayangnya, ajaran-ajaran luhur itu kerap dikhianati oleh sebagian pemeluknya yang menjadikan iman sebagai alat untuk menyingkirkan, bukan untuk menyatukan.

Kebebasan beragama adalah hak dasar yang tidak bisa ditawar. Hak ini menjamin setiap individu untuk memeluk, menjalankan, dan mengekspresikan keyakinannya secara bebas, tanpa takut tekanan atau diskriminasi. Dalam UUD 1945, kebebasan beragama dijamin secara tegas dalam Pasal 28E dan Pasal 29. Namun dalam praktik, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh umat beragama, terutama mereka yang tergolong minoritas atau yang meyakini kepercayaan lokal. Mereka sering kali dibatasi dalam membangun rumah ibadah, dilarang merayakan hari keagamaannya, atau bahkan mengalami penolakan sosial hanya karena berbeda keyakinan.

Di sinilah kita perlu memahami bahwa kebebasan beragama bukan hanya tentang hak untuk beribadah. Lebih dari itu, kebebasan beragama adalah tentang pengakuan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk memilih jalan hidup spiritualnya tanpa intervensi dari siapa pun. Iman tidak bisa dipaksakan. Ia adalah ruang pribadi antara manusia dan Tuhan. Dan ketika iman tumbuh dari kebebasan, ia akan berkembang dalam kedamaian. Tapi ketika iman dipaksakan, ia akan menjadi sumber konflik dan permusuhan.

Iman di jalan damai bukan berarti memaksakan keseragaman dalam keberagaman. Justru sebaliknya, ia menuntut kita untuk mengakui dan menghormati perbedaan. Hidup berdampingan dalam keberagaman iman bukan hal yang mudah. Tapi itu adalah keniscayaan dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Dalam konteks ini, penghargaan terhadap perbedaan bukanlah bentuk kompromi terhadap keyakinan pribadi, melainkan perwujudan dari iman yang matang. Seseorang tidak kehilangan keimanan hanya karena menghargai iman orang lain. Justru dengan saling menghargai, iman seseorang menjadi lebih kuat dan berakar.

Sayangnya, masih banyak masyarakat yang memandang perbedaan sebagai ancaman, bukan sebagai kekayaan. Ketika seseorang berdoa dengan cara yang berbeda, berpakaian dengan simbol agama tertentu, atau merayakan hari besar keagamaan yang tidak lazim di lingkungan sekitar, respons yang muncul sering kali adalah curiga, cemas, bahkan menolak. Reaksi ini muncul karena kurangnya pemahaman, rendahnya pendidikan toleransi, dan narasi keagamaan yang kerap dibingkai dalam dikotomi “kami” dan “mereka”. Untuk itu, dibutuhkan upaya sistematis dalam menanamkan nilai-nilai keberagaman melalui pendidikan, media, tokoh agama, dan kebijakan publik.

Pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk karakter generasi muda agar menghargai keberagaman iman. Sekolah bukan hanya tempat mentransfer ilmu, tetapi juga tempat pembentukan sikap hidup. Kurikulum harus memberi ruang untuk memperkenalkan nilai-nilai toleransi, dialog antaragama, serta sejarah keberagaman bangsa. Pelajar harus diajak memahami bahwa di balik perbedaan agama dan kepercayaan, semua manusia memiliki hak yang sama untuk dihargai, didengar, dan hidup damai. Guru juga memiliki peran penting sebagai teladan dalam menumbuhkan semangat inklusif, tidak berpihak, dan terbuka terhadap perbedaan.

Selain pendidikan, peran tokoh agama dan komunitas keagamaan juga sangat penting. Mereka sering menjadi rujukan utama dalam kehidupan umat. Maka dari itu, pesan-pesan yang mereka sampaikan sangat menentukan arah perilaku sosial umatnya. Tokoh agama perlu mengedepankan narasi damai, bukan provokasi. Mereka harus menjadi penjaga nilai-nilai luhur agama, bukan memanipulasi ajaran demi kepentingan politik atau kelompok. Dalam banyak kasus intoleransi, suara pemuka agama sangat menentukan apakah konflik akan mereda atau justru membesar.

Peran negara pun tidak bisa dikesampingkan. Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin dan melindungi kebebasan beragama setiap warga negara. Negara harus hadir secara adil dalam menangani konflik bernuansa agama, serta tidak tunduk pada tekanan kelompok-kelompok intoleran. Aparat hukum harus bersikap netral dan tegas terhadap pelanggaran kebebasan beragama, termasuk dalam kasus-kasus penolakan rumah ibadah, kekerasan atas nama agama, dan ujaran kebencian terhadap kelompok keagamaan tertentu. Negara juga harus aktif menciptakan ruang-ruang dialog antarumat beragama, sebagai bagian dari strategi menjaga kohesi sosial.

Menghidupkan iman di jalan damai berarti mengedepankan dialog, bukan debat. Dialog antariman bukan bertujuan untuk menyamakan semua agama, tetapi untuk memahami satu sama lain. Dialog membuka ruang untuk saling mendengar, saling belajar, dan saling menerima. Di tengah perbedaan ajaran dan praktik keagamaan, manusia bisa bertemu dalam nilai-nilai kemanusiaan yang universal: cinta kasih, keadilan, perdamaian, dan kasih sayang. Dari sinilah kita bisa membangun kebersamaan yang kokoh, bukan di atas persamaan doktrin, tetapi di atas penghargaan terhadap martabat manusia.

Kita tidak harus memeluk iman yang sama untuk bisa hidup bersama. Yang kita butuhkan adalah sikap saling menghormati dan empati yang tulus. Dalam kehidupan sehari-hari, penghargaan terhadap kebebasan beragama bisa diwujudkan dalam hal-hal sederhana: tidak mencela keyakinan orang lain, tidak memaksakan ajaran agama kepada yang berbeda, tidak menyebar kebencian berbasis agama, dan memberi ruang bagi sesama untuk beribadah sesuai keyakinannya. Dalam masyarakat majemuk, harmoni tidak tercipta dengan keseragaman, tetapi dengan sikap saling menghargai.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali makna iman dalam kehidupan bersama. Iman yang benar tidak membuat seseorang merasa lebih tinggi dari yang lain. Iman yang sejati tidak membenarkan kekerasan. Iman yang murni tidak memusuhi mereka yang berbeda. Justru iman yang tumbuh dalam kebebasan dan kedamaian akan menghasilkan pribadi yang rendah hati, bijaksana, dan mencintai sesama. Iman di jalan damai adalah iman yang menghargai, bukan memaksakan. Dan dalam iman yang menghargai itulah, kita bisa membangun masyarakat yang adil, damai, dan penuh kasih.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *