Pertama-tama saya akan mengajak teman-teman untuk memperhatikan kembali terhada perubahan sosial, yakni pergeseran kekerasan fisik menjadi kekerasan simbolik. Perubahan ini sebenarnya terjadi bukan hanya dalam arena sosial semata, akan tetapi sudah merambat dalam segala aspek yang menyangkut ruang publik atau ranah yang lebih kecil sekalipun. Tapi pada bahasan kali ini kita akan mencoba untuk mendiskusikan sesuatu yang sangat menentukan bagi pandangan kita dalam waktu dekat atau mungkin waktu panjang, yaitu sesuatu yang mewarnai perpolitikan kita yang sedang berlangsung.
Tinggal menghitung hari Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi, tentu menjadi momen yang sakral pada hari pencoblosan dan akan selalu dikenang lima tahun mendatang atau bahkan lebih. Persiapan menuju pada hari pencoblosan pun kian dimatangkan, baik oleh penyelenggara pemilu maupun yang akan memperoleh kepiluan.
Tak terkecuali, bahasa sebagai instrumen simbol kekuasaan yang paling efektif turut menyertai kematangan persiapan oleh setiap paslon yang akan berkompetisi dalam pemilu mendatang. Simbol, di samping memiliki kekuasaan tersendiri untuk mempengaruhi, mengelabuhi, atau bahkan mencaci, menjadi tepat sebagai wahana untuk mengekspresikan kegelisahan dan harapan.
Semboyan ataupun slogan kerap kali menjadi simbol-simbol yang digunakan oleh kedua pasangan calon (paslon) presiden tampak absurd. Menurut saya ada dua alasan yang menyebabkan simbol-simbol tersebut kelihatan absurd: pertama, simbol-simbol yang digunakan oleh kedua paslon dianggap mewakili masyarakat (pendukungnya); kedua, masyarakat tidak pernah mempertanyakan simbol-simbol yang digunakan oleh kedua paslon sikap kritis.
Tentu semboyan maupun slogan yang terasa sederhana dan populer sangat mudah untuk diterima oleh masyarakat atau rakyat banyak. Kita bisa mengatakan masyarakat menerima slogan-slogan yang digunakan paslon, tapi saya tidak bisa mengatakan rakyat (tentu yang bukan di kantor-kantor partai, maupun ruang-ruang kelas untuk berdebat) mampu mencernanya dengan baik, terlepas secara konseptual mengandung kesesatan.
Kita bisa melihat pasangan capres 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) dengan slogannya Indonesia maju atau capres 02 (Prabowo-Sandi) dengan slogannya adil makmur. Kata-kata yang sloganistik ini akan terus disuarakan oleh para pendukung kedua paslon tersebut hingga ke pelosok Indonesia. Karena, menurut saya hanya slogan itulah yang mampu mereka jual ke rakyat-rakyat bawah, tentunya dengan didahului tanya jawab kepada beberapa orang mengenai kekurangan maupun keluhan masyarakat sebagai basa-basi politik.
Paslon 01 berusaha menjual bayang-bayang abstrak, sedangkan Paslon 02 berusaha menjual mimpi-mimpi absurd. Kita lihat dalam slogan Indonesia maju yang dijual hanya abstraksi konseptual agar masyarakat mampu menerimanya dengan berbagai gaya retorika yang meyakinkan, bagi saya slogan Indonesia maju secara simbolik adalah makna mempertahankan kekuasaan dengan dengan turunan kata lanjutkan, tanpa menafikan makna-makna yang lain, seperti menggambarkan program kerja yang belum tuntas, atau kondisi kerja pemetintah yang jauh dari target. Bagitu pula slogan adil makmur, ingin menggambarkan keadaan yang mustahil, sebab konsepnya minus akal sehat (kira-kira begitu kata Rocky), atau secara simbolik menunjukkan makna akan prestasi pemerintah sebelumnya, saya kira tidak begitu yang diharapkan. Tapi yang sangat mengena dari istilah ini (adil makmur) adalah menunjukkan bahwa pemerintahan sebelumnya tidak berlaku adil dan tidak memperjuangkan kemakmuran rakyat, meskipun tolak ukur adil dan makmur bagi kedua calon tersebut pasti berbeda. Tentu bukan kemakmuran masjid hehe.
Dari simbol ini secara tidak langsung dan tidak sadar masyarakat telah ditindas melalui simbol-simbol yang dikonstruksikan kepada alam bawah sadar masyarakat Indonesia oleh kedua calon presiden tersebut. Namun yang sangat disayangkan bagi masyarakat kebanyakan itu adalah sesuatu yang normal, hingga akhirnya paslon terus menari-menari sambil tertawa karena masyarakat menyetujui atas penindasan yang dilakukan oleh kedua paslon tersebut.
Memprihatinkan bukan? Calon penguasa sebelum berkuasa saja sudah menindas, bagaimana kalau sudah berkuasa, begitu juga sebaliknya. Tentu tak terbayangkan. Peran Capres terus meningkat hingga menjadi pelopor doxa terbaik selama musim pilpres ini. Bermacam-macam frasa yang digunakan oleh para aliansi-aliansi dari kedua capres untuk mengkampayekan idolanya.
Beberapa waktu lalu Rocky Gerung menyebutkan pembuat hoax terbaik adalah penguasa. Tentu berbeda dengan doxa yang saya gunakan dalam tulisan ini. Mungkin Rocky bersifat konseptual sedangkan doxa yang saya kutip sudah sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hanya terkadang hoaks dan doxa dianggap terpisah, padahal keduanya menyatu dan saling bergandengan atau beriringan. Doxa, tentunya bukanlah do’a atau dosa.
Menurut sosiolog kritis (Pierre Bourdieu), doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Kedua Capres tanpa melakukan penelitian dan tanpa mempertimbangkan bahasa masyarakat kebanyakan, dengan tenang tanpa merasa bersalah mengeluarkan semboyan Indonesia maju atau adil makmur. Bagi saya kedua istilah ini berusaha membedakan kelompok satu dengan kelompok lainnya agar semakin menjauh.
Jika kedua slogan ini kita perdebatkan di hadapan rakyat, saya tidak bisa menjamin mereka akan mencerna atau memahami secara teoritis. Mengapa karena kedua Capres hanya menggunakan simbol-simbol itu untuk mewujudkan misinya menuju kursi istana. Bahkan bisa saja yang akan terjadi perdebatan kusir yang akan menimbulkan masalah baru.
Padahal kalau kita amati secara sosial kedua Capres memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi kedua hal itu tidak mereka pertimbangkan dalam kontestasi pilpres musim ini. Inilah yang kita kenal dengan kekeringan ide (substansi) atau mungkin kekurangan akal sehat, namun kaya dalam menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol yang digunakan oleh capres 01 dipaksakan kepada capres 02, begitu juga sebaliknya, sehingga kedua capres ini berusaha keras untuk memenangkan pertarungan simbolik dan mampu mendominasi simbol. Akhirnya perdebatan kita atau juga perdebatan pilpres tidak diperkaya dengan ide-ide, tapi hanya sebatas simbol-simbol dengan memanfaat pasar bahasa.
Maka tidak heran dikemudian hari yang kita lihat adalah berbagai pola mekanisme yang digunakan oleh kedua Paslon dalam rangka mewujudkan cita-cita mereka. Banalitas-banalitas dalam kehidupan kita menjadi tujuan utama memenangkan kontestasi simbolik tersebut yang menjadi efek dari kedangkalan-kedangkalan simbol yang digunakan.
Tentu banalitas yang sudah terjadi sudah mulai ditampakkan oleh tokoh politik kita sendiri. Dari petahana atau Capres 01 telah melakukan penyitaan buku-buku beberapa bulan lalu, ini menandakan kemunduran demokrasi kita, sebab kebebasan berpikir sudah tidak dijamin lagi oleh kekuasaan. Kemudian dari oposisi atau capres 02 sebagaimana dinyatakan fadli zon “sejarah bangsa Indonesia Perlu ditulis ulang”, di satu sisi memang ada baiknya, tapi juga tidak salah kalau kita menaruh curiga bahwa itu adalah misi kekuasaan untuk memproduksi pengetahuan.
Dari sini kecurigaan secara mendalam kepada kedua semboyan politik yang digunakan turut dikemukakan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa setiap simbol memiliki imajinasi, rencana bahkan juga ambisi busuk tersendiri. Tentu kecurigaan ini bukan berarti anti kepada kekuasaan atau pemerintahan, namun bagaiamana kita menciptakan budaya politik yang tidak dangkal, tidak kosong, dan tidak sia-sia. Selain itu kecurigaan ini hanya sebatas kekhawatiran adanya pergeseran dari kekerasan fisik menjadi kekerasan simbolik, kekerasan yang dilakukan secara halus, tidak terlihat, namun menyakitkan.
Secara tidak langsung sebagaimana dalam tradisi filsafat kecurigaan-kecurigaan pada bahasa sebagai alat dalam memproduksi wacana dan mendominasi, adalah kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Siapa pun pemerintahannya dan siapa pun produsernya, kita tetap harus menentang, mengkritisi atau mungkin selalu mempersoalkannya, inilah yang dinamakan Bourdieu heterodoxa, sebagai kebalikan dari orthodoxa, yaitu kelompok-kelompok yang selalu mempertahankan doxa.
Maka ada kemungkinan besar, capres (capek penuh resiko) memanfaatkan kata-kata untuk menipu masyarakat, padahal belum tentu simbol-simbol itulah yang diinginkan oleh tim kemenangan dari kedua calon atau mungkin pendukung-pendukung yang tidak mengetahui makna dari semboyan tersebut. Atau kemungkinan besarnya calon presiden sengaja menghindari risiko yang mungkin bisa terjadi di masa mendatang. Tentu dari sikap ini atau dari kecurigaan ini, masyarakat akan memperoleh jawaban-jawaban yang mendekati kebenaran. Pra-anggapan atau kemungkinan-kemungkinan sah-sah saja dan tidak bisa disalahkan secara mutlak karena ada skema-skema persepsi dan modal yang mendukungnya. Akhirnya kita pun bertanya-tanya, mengapa kedua Capres tidak menggunakan frasa yang lebih realistis tanpa harus menghilangkan idealisme seutuhnya. Memang mudah diucapkan namun sulit diamalkan bukan?
Tinggalkan Balasan