Agama Untuk Perdamaian: Moderasi Sebagai Tuntunan, Bukan Ancaman*

Di tengah dunia yang penuh gejolak dan ketegangan, agama semestinya hadir sebagai sumber kedamaian, bukan sebagai bahan bakar konflik. Namun, realitas global dan nasional kerap menampilkan paradoks: agama yang seharusnya menjadi jalan keselamatan justru dipelintir menjadi legitimasi kekerasan dan intoleransi. Di sinilah pentingnya moderasi beragama: sebuah cara pandang dan praktik keagamaan yang mengedepankan keseimbangan, kemanusiaan, dan kedamaian. Moderasi bukan sekadar sikap kompromistis, melainkan prinsip kokoh dalam beragama yang menjadikan nilai-nilai universal agama sebagai jalan hidup yang adil dan penuh rahmat.

“beragama itu seharusnya membuat kita makin damai, bukan makin marah-marah”

Kalimat ini menggambarkan esensi dari sikap moderat dalam beragama, bahwa semakin seseorang mendalami ajaran agamanya, semestinya ia semakin lembut, terbuka, dan damai terhadap sesama. Bukan sebaliknya, menjadi pemarah, suka menyalahkan, dan mudah mencaci perbedaan.

Moderasi beragama sejatinya bukan hal baru. Ia berakar kuat dalam tradisi Islam sebagai ummatan wasathan umat yang berada di jalan tengah, tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan. Moderasi mendorong umat beragama untuk menjalankan keyakinannya secara taat, namun tanpa menafikan hak-hak orang lain yang berbeda. Toleransi dalam konteks ini bukan berarti melemahkan iman, tetapi justru memperkuat keimanan yang matang dan dewasa. Seorang yang toleran tidak merasa terancam oleh perbedaan, karena ia memahami bahwa kemajemukan adalah kehendak Tuhan dan bagian dari fitrah manusia.

Nilai toleransi menjadi fondasi utama dalam membangun masyarakat yang rukun. Toleransi bukan hanya sikap pasif untuk membiarkan perbedaan, tetapi tindakan aktif untuk menjalin dialog, memahami, dan menghargai keyakinan orang lain. Di Indonesia yang multikultural dan multireligius, toleransi menjadi prasyarat mutlak bagi keutuhan bangsa. Moderasi beragama mengajarkan bahwa kita bisa mencintai agama sendiri tanpa harus membenci agama lain. Dalam konteks ini, toleransi sejati adalah bagian dari ibadah sosial yang mendatangkan keberkahan bersama.

Lebih jauh, moderasi beragama juga berarti menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama. Kekerasan, baik verbal maupun fisik, adalah bentuk pengkhianatan terhadap ajaran agama yang membawa pesan kasih sayang dan keselamatan. Agama-agama besar dunia, termasuk Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya, mengajarkan bahwa membunuh satu jiwa sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Maka dari itu, setiap bentuk radikalisme dan ekstremisme harus ditolak, karena mencederai inti ajaran agama itu sendiri. Moderasi hadir sebagai benteng ideologis untuk mencegah berkembangnya narasi kebencian dan kekerasan yang merusak tatanan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pernyataan ini menegaskan bahwa ukuran keberhasilan spiritual seseorang bukanlah pada simbol atau retorika, melainkan pada seberapa besar ajaran agamanya mampu menebar rasa aman, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama manusia.

Dalam kerangka kebangsaan, moderasi beragama menjadi pilar penting bagi penguatan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila sebagai dasar negara telah memuat nilai-nilai religius yang universal. Maka, menjalankan agama secara moderat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebangsaan, melainkan justru menguatkannya. Komitmen kebangsaan dalam perspektif moderasi berarti mencintai tanah air, menghargai konstitusi, dan berkontribusi aktif dalam menjaga keutuhan bangsa. Seorang warga negara yang religius dan moderat tidak akan mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA yang memecah belah, karena ia menyadari pentingnya persatuan dalam perbedaan.

Moderasi juga menuntut kita untuk menghargai tradisi lokal yang berkembang di masyarakat. Agama tidak hadir dalam ruang hampa, tetapi berinteraksi dengan budaya dan kearifan lokal. Dalam konteks Indonesia, banyak tradisi yang mengandung nilai-nilai spiritual tinggi, seperti tahlilan, selametan, upacara adat, dan lain-lain. Moderasi tidak serta-merta menolak tradisi-tradisi tersebut hanya karena tidak tercantum secara tekstual dalam kitab suci. Sebaliknya, moderasi beragama mendorong kita untuk memahami esensi dari sebuah tradisi: selama tidak bertentangan dengan nilai dasar agama, maka ia adalah bentuk ekspresi religius yang sah dan layak dihormati. Dengan menghargai tradisi, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memperkuat identitas keagamaan yang kontekstual dan membumi.

Salah satu ciri penting dari moderasi adalah orientasinya pada kemaslahatan umum. Dalam setiap keputusan keagamaan, prinsip maslahat harus menjadi pertimbangan utama. Hukum dan fatwa tidak hanya dilihat dari sisi legalistik, tetapi juga dari dampaknya terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Moderasi mengajarkan bahwa agama tidak boleh menjadi beban sosial, melainkan solusi atas problematika kehidupan. Dalam bidang ekonomi, misalnya, prinsip moderat akan mendorong pemerataan dan keadilan; dalam pendidikan, ia akan menanamkan nilai-nilai kritis dan reflektif; dalam politik, ia akan menghindarkan agama dari eksploitasi kekuasaan.

Selaras dengan itu, nilai keadilan menjadi jantung dari moderasi beragama. Keadilan dalam arti tidak memihak, tidak zalim, dan tidak mendiskriminasi atas dasar keyakinan. Moderasi menolak sikap ekstrem yang cenderung menghakimi, membid’ahkan, atau bahkan mengafirkan pihak lain secara semena-mena. Keadilan juga berarti memberikan ruang kepada setiap kelompok untuk mengekspresikan agamanya secara damai dan setara di mata hukum. Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, moderasi beragama adalah jembatan yang mempertemukan antara hak-hak individu dan tanggung jawab kolektif sebagai bagian dari masyarakat majemuk.

Nilai keseimbangan atau tawazun juga menjadi kunci penting dalam moderasi beragama. Seorang yang moderat mampu menyeimbangkan antara aspek tekstual dan kontekstual dalam memahami ajaran agama. Ia tidak semata-mata terpaku pada teks literal, tetapi juga memahami maqashid (tujuan) dari ajaran tersebut. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sikap berimbang akan menciptakan harmoni antara kepentingan pribadi dan publik, antara dunia dan akhirat, serta antara spiritualitas dan rasionalitas. Moderasi dalam hal ini menjadi jalan tengah yang menjauhkan kita dari sikap fanatik buta dan sekularisme ekstrem.

Yang tak kalah penting, moderasi beragama menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai prinsip tertinggi. Semua agama mengajarkan tentang kasih sayang, penghormatan terhadap martabat manusia, dan pentingnya membela kaum lemah. Maka, seseorang yang benar-benar religius adalah mereka yang memiliki empati terhadap penderitaan sesama, tanpa memandang latar belakang agama, etnis, atau suku. Moderasi mendorong umat beragama untuk menjadi pelindung kehidupan, bukan perusak. Dalam dunia yang dilanda berbagai krisis kemanusiaan dari konflik perang, kemiskinan, hingga pengungsi agama harus tampil sebagai kekuatan moral yang memulihkan, bukan menyakiti.

Akhirnya, moderasi beragama adalah cara terbaik untuk mengelola kemajemukan. Indonesia adalah rumah bersama bagi berbagai agama, suku, dan budaya. Mengelola keragaman bukan perkara mudah, apalagi jika disusupi oleh narasi eksklusif dan intoleran. Di sinilah moderasi berperan sebagai strategi kebudayaan yang menyatukan, bukan menceraikan. Dengan menjunjung tinggi kemajemukan, kita bisa membangun kehidupan sosial yang inklusif, beradab, dan berkeadilan.

Dalam dunia yang semakin rentan terhadap polarisasi dan ekstremisme, moderasi beragama bukanlah ancaman bagi kemurnian agama. Justru sebaliknya, ia adalah tuntunan yang mampu menjaga agama tetap relevan, sejuk, dan menyentuh hati manusia. Moderasi bukan kompromi terhadap kebenaran, melainkan keberanian untuk menjalani agama dengan akal sehat, hati nurani, dan semangat perdamaian. Maka, sudah saatnya semua pihak tokoh agama, pemimpin bangsa, pendidik, hingga masyarakat sipil bersama-sama memelihara dan menghidupkan moderasi dalam kehidupan beragama kita. Sebab hanya dengan jalan tengah inilah, agama benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.

*Opini ini untuk memenuhi tugas Program Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Tahun 2025


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *