Bapak-bapak/Ibu-ibu/Adik-adik dan semua mahasiswa di mana saja berada baik Muslim maupun non-Muslim. Masih berlanjut pada Jum’at ini diskusi kita tentang ARABIA. Semakin saya baca buku karangan Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din) yang berjudul MUHAMMAD; Based on the Earliest Sources, terj. Qomaruddin SF (Jakarta: Serambi, 2017) semakin terasa hidup lagi sejarah Nabi, walaupun saya tak punya kenangan hidup bersama Nabi. Yang menarik dalam buku tersebut antara lain kisah mengenai wahyu, dikotomi sosial, dan Kiamat. Lebih menarik bagi saya karena ketiga kisah tersebut (Kiamat dan wahyu serta dampaknya pada dikotomi sosial) akan saya kaitkan dengan situasi kontemporer yang bersifat interpretative-filosofis sehingga ia akan memperkuat teori hermeneutik Gadamer terkait Prejudices (unsur-unsur pra-pemahaman yang sudah nongkrong dalam kepala kita). Diskusi ini tentu akan sangat komunikatif dan berguna bagi dunia akademik, adik-adik kawula muda dan ormas keislaman karena saya membuat pendekatan empirik tentang beda antara ‘Air Pegunungan dan Air Sumur Bor’ terinspirasi oleh Medsos. Here we go!
Pertama tentang Kiamat, pada halaman 104-105 dikatakan bahwa Malaikat Jibril (pengantar wahyu) tidak tepat disebut sebagai Rasul menurut al-Qur’an sebab Malaikat itu tidak menetap di bumi, tidak selalu bersentuhan dengan situasi dan problema sosial. Antara langit dan bumi ada hijab (pembatas). Bilamana langit dan bumi berbenturan, maka kondisi duniawi ‘ruang dan waktu’ akan lenyap, dan bumi menjadi berkeping-keping (p. 105). Bilamana dikatakan dalam al-Qur’an bahwa Kiamat sudah dekat, maka arti kata ‘dekat’ harus dipahami ‘lama’ oleh manusia, sebab Q. 22 ayat 47 menyebutkan ‘Sesungguhnya 1 hari bagi Tuhanmu, 1000 tahun menurut perhitunganmu’. Maka masa Kerasulan sebenarnya adalah masa Persiapan pra akhirat (p. 135). Dalam masa persiapan tersebut diturunkan Kitab yang dijuluki al-Furqan (Pembeda), sebab wahyu sebenarnya menunjukkan Perbedaan antara Keabadian dalam Kesementaraan (p. 136). Dalam Kesementaraan itu ada orang-orang yang selama ini dipandang baik di tengah masyarakat, ternyata buruk setelah turun wahyu. Contoh, sebelumnya orang kurang mengenal nama Abu Lahab, dengan turunnya wahyu, namanya semakin tersohor (bukan tersohor karena dia baik menurut tradisi, tetapi karena buruk (notorious) menurut wahyu. Bahkan Nabi Nuh dulu pernah mengeluh kepada Tuhan: ‘Dakwahnya hanya akan memperlebar jurang pemisah antara dirinya dengan umatnya’ (p. 137). Maka ada benarnya Fazlur Rahman dan Nurcholish Majid tatkala mengatakan: Menyebut nama Allah adalah hal biasa bagi Arab Jahiliyah, tetapi menyebut Muhammad Rasulullah adalah hal LUAR biasa bagi Arab Jahiliyah. Syahadat itu 2 kalimat yang sangat menggoncang di masa awal Kerasulan.
Kedua, dalam buku Martin Lings juga disebutkan bahwa wahyu tidak lain adalah perwujudan keabadian dalam kehidupan yang sementara. Sejarah juga menunjukkan perbedaan antara wahyu (dari langit) dan wahyu (setelah ia membumi). Wahyu dari langit turun seringkali setelah Nabi Muhammad ditanya umatnya tentang suatu persoalan, maka jawabannya harus menunggu dulu, tidak instant. Harus ‘indent’ dulu produknya (kata konsumen Online zaman sekarang). Wahyu dari langit itu bukan stock barang jadi. Keadaan ‘menunggu ‘ turunnya wahyu, kata Martin Lings, memperkuat bukti ‘orisinalitas’ jawaban Nabi (p. 108), yang berbeda dengan sihir Arab langsung dapat dibacakan dan ditunjukkan hasilnya. Sementara wahyu yang telah membumi yaitu wahyu Allah yang telah jadi, telah tertulis dalam al-Qur’an, telah bersentuhan dengan kehidupan nyata.
Kedua jenis wahyu di atas, sebelum diturunkan dan sesudah diturunkan ibarat air pegunungan dan air sumur bor. Air di pegunungan adalah air yang harus menunggu curah hujan dari langit, entah kapan turunnya. Entah kapan Tuhan akan mengirim jawabannya, entah kapan ‘kurir’ (Jibril) akan ‘delivery’ ke pintu rumah. Jadi produknya orisinil dari Lauhul Mahfuzh.
Dalam al-Qur’an disebutkan: ‘Wa maa yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyuy yuha’. Surah al-Najm 3. Kata Google, Syaikh Wahbah al- Zuhayli dalam tafsir al-Wajiznya mengatakan bahwa Nabi Muhammad ‘tidak berbicara dengan kecenderungan dirinya’. Kata ‘kecenderungan diri’, bila dipahami dalam filsafat hermeneutik Gadamer, dapat diartikan sebagai stock pengetahuan yang sudah lebih dulu nongkrong dalam kepala seseorang. Nabi tidak mempunyai Prejudice semacam itu dalam menerima wahyu.
Lain halnya dengan kondisi umat setelah 1500 tahun setelah turunnya wahyu. Bila wahyu diibaratkan air mineral seperti di atas, air mineralnya memang diyakini bersama 100% berasal dari air pegunungan, air hujan, tetapi kemudian banyak perusahaan yang telah menggalinya dari sumur bor. MUI, Muhammadiyah, NU dan para ustaz, buya, kiyai tidak lagi menunggu wahyu dari langit untuk menjawab pertanyaan umat, tetapi sudah ada tersedia di dalam al-Qur’an, sudah tertulis, ayat-ayatnya sudah bersentuhan dengan kondisi Arabia abad ke 7 Masehi. Maka Air yang mereka ‘jual’ sekarang adalah air sumur bor, air yang telah pernah bersentuhan dengan batu, pasir dan tanah dalam perut bumi. Dan umat yakin bahwa air itu adalah air pegunungan. Pesanan umat di zaman Nabi harus menunggu lama hingga barang sampai, sementara pesanan umat zaman sekarang sudah tersedia untuk dinikmati kapan saja. Muhammadiyah bilamana ditanya umat, maka keluarlah Fatwa Tarjih, Putusan tarjih dan mengatakan bahwa produk2 tersebut adalah murni berasal dari air pegunungan, tetapi bukankah mereka telah ‘mengebornya’ dengan Prejudices, misalnya dalam Majelis Tarjih? Tentu Ormas yang lain juga berlaku sama dengan Muhammadiyah dalam hal memberikan jawaban kepada umat. Mereka telah bermodalkan Prejudices dalam menafsir, walaupun masih ada tokoh yang menyangkalnya waktu saya ujian disertasi.
Sebetulnya apa itu Prejudice? Prejudice adalah unsur-unsur paling awal yang mendahului pemahaman kita dalam menafsir. Ia merupakan modal awal yang kita dapatkan dalam Tradisi. Misalnya, bilamana seseorang menyebut HP, maka stok pengetahuan tentang bentuk HP itu sudah ada dalam kepalanya. HP petak persegi. Mungkin jarang sekali kita membayangkan HP berbentuk jam tangan, padahal ia ada, tetapi stok pengetahuan kita membatasi pemahaman kita: HP yang kita ketahui hanya berbentuk petak persegi. Ini contoh Prejudice yang akhirnya mempengaruhi penafsiran kita. Penafsiran menjadi luas karena Prejudice luas, penafsiran menjadi pendek karena Prejudice pendek.
Sekarang nampak beda antara wahyu yang langsung diterima Rasul dan wahyu yang telah dituliskan. Dulu Nabi menunggu jawaban Tuhan setiap saat, kini ulama tidak menunggu tetapi memilih jawaban-jawaban Tuhan yang dianggap terkuat di suatu saat. Diulangi Wahyu yang diterima oleh Rasul ibarat air jernih pegunungan yang berasal dari air hujan. Air hujan harus ditunggu turunnya dari langit. Sementara manusia modern sudah terbiasa minum air kemasan dari air sumur bor, stok airnya sudah tersedia dalam tanah, dan banyak perusahaan air minum sumur bor yang mengaku bahwa airnya adalah air murni dari pegunungan. Konsumen percaya dengan iklan.
Kesimpulan
Saya tidak mengatakan bahwa air sumur bor tidak murni sejauh ia terkait dengan dakwah keislaman. Yang saya katakan, berdasarkan sejarah oleh Martin Lings, ialah bahwa kita semua, anda dan saya serta umat Islam umumnya, terpaksa dalam sejarah modern ini meminum air sumur bor, ini berbeda dengan umat di zaman Nabi. Kita tidak bisa bertanya langsung kepada Nabi in person (secara pribadi) tetapi kita hanya bisa bertanya kepada para pewaris Nabi. Dan para pewaris Nabi ini masing-masing punya ‘kepentingan’. Kenapa ada kepentingan? Sebab manusia selalu melihat ke masa depan. Muhammadiyah, NU, MUI, Syi’ah, Sunni, masing-masing punya kepentingan dan telah ‘mempacking air’nya, bukan langsung dari air hujan, tetapi dari ‘sumur-sumur bor milik mereka’. Air yang mereka ‘packing’ sebenarnya sudah pernah bersentuhan dengan batu, pasir dan tanah dalam perut bumi. Ayat al-Qur’an yang mereka ‘pilih’ sekarang sebagai hujjah (argumentasi) sebenarnya dulu telah pernah ‘bersentuhan’ dengan berbagai problem, dengan Tradisi, dengan cara berpikir, yang ada di zaman Nabi. Di saat turunnya wahyu, umat terbelah antara kafir dan mukmin, antara Jahiliyah dan Islam. Di saat sekarang umat terbelah antara organisasi keagamaan, mazhab dan teologi. Terbelah karena kita minum air sumur bor yang mana kadar mineralnya beda-beda. Haruskan kita minum air kemasan Muhammadiyah atau air kemasan produk NU? Entahlah, silahkan anda cicip sendiri. Yang pasti air kemasan produk Muhammadiyah dan produk NU sudah diatur oleh UUD 45 dan Pancasila, karena mereka membuka usaha air kemasan di negara ini. Silahkan anda minum dan rasakan bedanya!
Significance of Issue (Hikmah)
Pertama, generasi Muslim yang paling dekat dengan masa turunnya wahyu adalah generasi yang sempat minum air fresh, air hujan di Pegunungan. Generasi Muslim tahun 2025 ini adalah generasi yang terpaksa minum air sumur bor. Cara untuk sedikit mencicipi Fresh-nya air hujan di pegunungan dulu ialah dengan hermeneutik, bukan dengan tafsir. Sebab aktifitas menafsir sangat dipengaruhi oleh Prejudice si penafsir.
Kedua, berbeda hasil penafsiran tentang ayat, bukan karena ayatnya, tetapi karena berbeda Prejudices masing-masing penafsir. Maka ke depan bagi adik-adik generasi muda, eloklah kita berlapang dada menerima hasil penafsiran yang berbeda-beda. Pluralis adalah akibat wajar dari Prejudices. Demikianlah Bapak-bapak/Ibu-ibu/Adik-adik dan semua pembaca setia.
Tinggalkan Balasan